Sabtu, 02 Agustus 2014

ARTIKEL JURNAL PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN (JPP) LESTARI

 PELATIHAN METODE SELF INSTRUCTION 
DAPAT MENINGKATKAN SELF ESTEEM SISWA SMA

Luh Putu Sri Lestari
Jurusan Bimbingan Konseling FIP Undiksha
Email : srilestaribk@gmail.com (081239524239)

Abstract: Self Instruction Method Training
to Improving Self Esteem of Senior High School Students. This research aimed at finding out the effectiveness of Self-Instruction Method training in improving self-esteem of the senior high school students. This research used experimental design that was one-group pretest-posttest design with the subjects involved were five students of Senior High School Laboratorium Undiksha Singaraja Grade XI. Those students were identified to have low self-esteem. The instruments used were the scale of self-esteem and the instrument for treatment materials in the form of training manuals using the method of self-instruction. The results showed that there were differences on the level of students’ self-esteem before and after training interventions using self-instruction method. By using Wilcoxon Signed-Rank Test, in which the value of z count = 2.060 > z table = 1.96 and p = 0.039 < 0.05 indicated that the intervention of self-instruction method was significantly able to improve the students’ self esteem.

Keywords : self instruction, self  esteem, cognitive behavior

ABSTRAK: Pelatihan Metode Self Instruction dapat Meningkatkan Self Esteem Siswa SMA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pelatihan metode self-instruction dalam meningkatkan self-esteem siswa SMA. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen yaitu one-group pretest-posttest design dengan subjek 5 orang siswa kelas XI SMA. Lab. Undiksha Singaraja yang teridentifikasi sebagai siswa yang memiliki self-esteem rendah. Instrumen yang digunakan yaitu skala self-esteem dan instrumen untuk bahan perlakuan berupa buku panduan pelatihan dengan metode self-instruction. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat self-esteem siswa sebelum dan setelah mendapatkan intervensi pelatihan dengan metode self-instruction. Dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed-Rank Test, dimana nilai z hitung = 2,060 > z tabel = 1,96 dan p = 0,039 < 0,05, yang berarti intervensi metode self-instruction secara signifikan dapat meningkatkan self esteem siswa.

     Kata-kata kunci: self instruction, self esteem, cognitive behavior

Pendukung utama tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia bermutu adalah pendidikan yang bermutu. Proses penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tidak cukup dilakukan dengan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus didukung oleh peningkatan profesionalisme dan sistem manajemen tenaga pendidik serta pengembangan kemampuan siswa untuk menolong diri dalam memilih dan mengambil keputusan demi mencapai cita-citanya.
Kemampuan siswa seperti ini, tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektual dan sistem nilai siswa. Berkaitan dengan pemikiran tersebut, tampak bahwa pendidikan yang bermutu di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat adalah pendidikan yang mengantarkan siswa pada pencapaian standar akademis yang diharapkan dalam kondisi perkembangan diri yang sehat dan optimal. Para siswa di SMA atau sederajat memiliki karakteristik, kebutuhan, dan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya.
 Adapun tugas-tugas perkembangan siswa SMA atau sederajat menurut Havigurst (dalam Hurlock, 2004) yaitu: 1) mencapai kematangan dalam beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2) mencapai kematangan dalam hubungan teman sebaya, serta kematangan dalam perannya sebagai pria dan wanita, 3) mencapai kematangan pertumbuhan jasmani yang sehat, 4) mengembangkan penguasaan ilmu, teknologi, seni sesuai dengan progam kurikulum, persiapan karier dan melanjutkan pendidikan tinggi, serta berperan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas, 5) mencapai kematangan dalam pemilihan karier, 6) mencapai kematangan gambaran dan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, sosial, intelektual dan ekonomi, 7) mencapai kematangan gambaran dan sikap tentang kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, 8) mengembangkan kemampuan komunikasi sosial dan intelektual serta apresiasi seni, serta 9) Mencapai kematangan dalam sistem etika dan nilai. Kemampuan akademis dan kesembilan tugas perkembangan siswa di SMA atau sederajat itu merupakan suatu kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa SMA atau sederajat secara optimal.
Siswa SMA berada pada rentangan umur masa remaja. Masa remaja sering digambarkan sebagai masa yang paling indah, dan tidak terlupakan. Kondisi ini disebabkan pada masa ini merupakan masa yang penuh dengan kegembiraan dan tantangan. Salah satu tantangan yang dihadapi remaja adalah kondisi identik yang disebut dengan kata pemberontakan (masa storm and stress ) karena banyaknya goncangan-goncangan dan perubahan yang cukup radikal dari masa sebelumnya (Santrock, 2007; Hurlock, 2004).
Pada masa remaja juga terjadi banyak perubahan pada diri seseorang, termasuk dalam hal biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Selain menunjukkan adanya perubahan fisik serta psikologis, pada masa remaja juga terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi secara penuh menjadi lebih mandiri (Steinberg, 2002). Perubahan yang dialami remaja merupakan masa yang sulit untuk dilalui karena pada masa ini remaja perlu belajar mengatasi pubertas sekaligus transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah. Diantara berbagai perubahan yang terjadi, perubahan dalam aspek psikologis dipandang sebagai isu yang paling penting pada masa remaja, terutama sejak berkembangnya teori Erickson yang menyatakan identitas diri sebagai tugas perkembangan remaja. Apabila remaja mengembangkan penilaian negatif mengenai diri mereka dalam usahanya membentuk identitas diri, dapat terjadi gejolak emosi dalam diri mereka. Selain itu, karakteristik remaja yang mulai menekankan pentingnya hubungan dengan teman-teman sebaya, kerap mengalami tantangan dalam menghadapi tuntutan-tuntutan dari sekitarnya, sehingga dapat menimbulkan permasalahan sosial (Way dalam Rhodes dkk, 2004). Terjadinya berbagai perubahan pada masa remaja ini juga seringkali berdampak pada menurunnya rasa keberhargaan diri (self-esteem) pada diri remaja (Rhodes, 2004).
Self-esteem merupakan dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri (Santrock, 2003). Remaja menilai dirinya secara menyeluruh sehingga ia memperoleh gambaran yang jelas tentang dirinya sendiri, dan kemudian membandingkannya dengan kriteria ideal yang dimilikinya. Konsep harga diri sangat terkait dengan tiga konsep lain yang memang merupakan hal yang tidak terpisahkan, yaitu: self concept, self image, dan ideal self  (Lawrence, 2006). Self-esteem yang rendah pada seseorang disebabkan oleh adanya diskrepansi antara pandangan yang dimiliki seseorang mengenai dirinya saat ini (perceived self) dengan pandangan idealnya terhadap dirinya atau yang disebut dengan  ideal self  (Mruk, 2006).
Tingkat self-esteem seorang remaja dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Latar belakang remaja seperti gender, ras dan status sosial, dapat mempengaruhi self-esteem seorang remaja (DuBois dalam Rhodes dkk, 2004). Selain latar belakangnya, hubungan remaja dengan orang tua dan teman menjadi kontributor penting terhadap tingkat self-esteem mereka (Santrock, 2007).     Orang tua yang membesarkan anaknya dengan sikap penuh pengakuan dan tanggapan akan membentuk remaja dengan self-esteem yang tinggi, sementara orang tua yang bersikap tidak responsif dan kurang memberi pengakuan kepada anaknya akan membentuk anak dengan self-esteem yang rendah (Bos dkk, 2006). Setelah beranjak remaja, hubungan dengan orang tua tetap memberikan pengaruh terhadap self-esteem, namun hubungan dengan teman memberi pengaruh yang lebih utama. Perasaan terhadap penerimaan dari teman-teman memberikan pengaruh besar terhadap self-esteem seorang remaja (Bos dkk, 2006).
Remaja yang memiliki self-esteem rendah cenderung menampilkan karakteristik tertentu, seperti memiliki masalah interpersonal, mengalami kegagalan akademis, ketergantungan, perlawanan terselubung, depresi, kecemasan, perasaan keterasingan, tidak dicintai, penarikan diri dari situasi sosial, kurangnya kemampuan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, kecenderungan untuk menerima umpan balik negatif  sebagai sesuatu yang benar, dan berkurangnya kepuasan terhadap penyelesaian kerja (Robson dalam Coetzee, 2009). Selain itu, remaja dengan self-esteem rendah juga memiliki kecenderungan untuk menampilkan perilaku mencari perhatian (McClure, 2010).
Keadaan self-esteem dengan karakteristik seperti di atas,  juga banyak terjadi pada remaja di Indonesia. Bila kita cuplik beberapa kasus di masyarakat, terutama yang dialami oleh siswa sekolah menengah, maka tergambar kondisi psikososial dan emosional maupun kesehatan mental remaja. Beberapa fakta atau temuan kasus-kasus misalnya, seorang siswa SMA di Ngawi Jawa Timur nekat bunuh diri karena mengalami depresi berat (Republika.co.id, 2012). Kasus lain terjadi pada seorang siswi SMA di Sengkang yang nekat bunuh diri setelah dimarahi oleh ibunya (Tempo.co, 2012). Berdasarkan hasil penelitian, kasus bunuh diri dalam kurun waktu delapan bulan, Februari-Oktober 2012, di Buleleng, Singaraja Bali ternyata pelakunya didominasi oleh kalangan pelajar. Empat kasus diantaranya melibatkan dua pelajar SMP, seorang siswa SMA, dan satu orang siswa SMK. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan dalam kurun waktu 2006-2009 di Bali tercatat 227 kasus bunuh diri. Sebanyak 17 kasus atau 7,5% diantaranya, korbannya adalah pelajar SD, SMP, dan SMA/SMK.(Balipost.co.id, 2012).
Remaja dengan karakteristik self-esteem yang rendah dengan mudah melakukan tindakan yang merugikan diri dan orang lain, serta sangat bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Adanya tuntutan dan tekanan dalam berbagai aspek kehidupan membuat para remaja ini mengalami konflik, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sekitarnya. Bagi remaja yang dapat menerima berbagai peristiwa yang dihadapinya secara positif, ia akan berusaha bertindak positif tanpa merugikan dirinya maupun lingkungannya. Sebaliknya, ketika remaja menerima sebuah peristiwa sebagai suatu kegagalan atau hal yang sangat menyakitkan, hal tersebut akan membuat dirinya tidak bermakna, tidak berharga, merasa tidak mampu, dan lebih lanjut akan membuatnya bertindak buruk dalam bentuk yang beragam, yang salah satunya berupa bunuh diri.
Dalam setting pendidikan, ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa self-esteem memiliki hubungan erat dengan performansi akademik. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2007) menemukan bahwa self-esteem memiliki hubungan yang erat dengan prestasi akademik siswa SMA. Lui, Kaplan & Risser (dalam Rice, 1996) mengatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara pencapaian akademik dengan self-esteem. Individu yang memiliki self-esteem tinggi cenderung memiliki pencapaian akademik yang lebih tinggi, dan mereka yang memiliki self-esteem rendah memiliki pencapaian akademik yang lebih rendah.Selain berkaitan dengan pencapaian akademik, self-esteem juga berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental seorang remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Boden dkk, (dalam Simpson-Scott, 2009), bahwa remaja dengan self-esteem yang rendah memiliki kesempatan lebih besar untuk mengalami masalah kesehatan mental serta penyalahgunaan obat-obatan dibandingkan remaja dengan self-esteem yang lebih tinggi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, tampak bahwa terdapat hubungan yang erat antara self-esteem rendah dengan perilaku remaja bermasalah. Apabila permasalahan ini tidak segera ditangani, maka bukan tidak mungkin permasalahan ini akan semakin melebar dan meluas pada kondisi dan perilaku yang lebih mengkhawatirkan seperti yang telah disebutkan di atas.
Beberapa fakta dan temuan kasus yang menggambarkan kondisi psikososial dan emosional maupun kesehatan mental remaja dengan karakteristik self-esteem rendah seperti yang sudah dijabarkan di atas, menunjukkan perlunya upaya pemberian layanan bantuan kepada siswa SMA untuk meningkatkan self esteem. Bimbingan dan Konseling sebagai salah satu pilar pendidikan merupakan usaha bantuan yang memungkinkan siswa mengenal dan menerima diri sendiri, mengenal dan menerima lingkungan secara positif dan dinamis, mampu mengambil keputusan, serta mampu mengarahkan dan mewujudkan diri sendiri secara efektif dan produktif sesuai dengan peranan yang diinginkannya di masa depan. Karena itu, bimbingan dan konseling di sekolah, sebagai salah satu agen yang bertanggung jawab atas tumbuh kembang optimal siswa, perlu melakukan tindakan-tindakan tertentu secara preventif maupun kuratif untuk menangani permasalahan self esteem rendah ini.
Hasil studi awal untuk mengetahui adanya siswa yang memiliki karakteristik self-esteem yang rendah di SMA Lab Undiksha Singaraja, dilakukan melalui wawancara dengan para konselor dan pelancaran angket self-esteem oleh peneliti dan konselor sekolah. Dari hasil studi awal di SMA Lab Undiksha Singaraja, menunjukkan bahwa dari 201 orang siswa, terdapat 64,2% siswa yang memiliki karakteristik self-esteem yang rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, umumnya siswa merasa memiliki self-esteem rendah terkait dengan prestasi akademik dan mereka merasa tidak percaya pada kemampuan yang dimiliki. Selain itu, juga disebabkan oleh adanya masalah dalam pergaulan dan hubungan dengan orang lain. Dari hal tersebut, siswa yang mengalami masalah self-esteem rendah, mewujudkannya dalam perilaku misalnya menarik diri dari orang lain, menyendiri, tidak mengerjakan PR, bermusuhan dengan teman, pemalu, dsb.
Temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa permasalahan self esteem di sekolah ini masih belum ditangani secara optimal. Umumnya, guru BK di sekolah masih menggunakan pendekatan/metode yang kurang tepat dalam menangani self esteem, sehingga tidak berpengaruh banyak terhadap peningkatan self esteem siswa. Konselor sekolah hanya memberikan layanan bimbingan kelompok secara terjadwal untuk membantu siswa memecahkan permasalahannya secara umum, sehingga metode yang digunakan kurang tepat sasaran bagi siswa. Oleh karena itu, konselor diharapkan memiliki keterampilan dalam mengaplikasikan metode tertentu secara efektif dan efisien dengan memperhatikan perkembangan dan karakteristik siswa.
Pendekatan cognitive-behavior merupakan suatu bentuk pendekatan  psikoterapi yang terstruktur. Pendekatan ini dinamakan “terapi kognitif” karena teknik-teknik yang dipakai pada pendekatan ini bertujuan merubah kesalahan (error) atau penyimpangan (bias) dalam pikiran konseli (Davidson, 1990). Menurut Cormier, (2003), pendekatan cognitive-behavior memiliki beberapa metode antara lain cognitive restructuring, self-instruction, problem solving dll. Dari ketiga metode cognitive-behavior tersebut, metode self-instruction memiliki keunggulan, yaitu selain dapat mengganti pandangan negatif individu menjadi positif, metode ini juga dapat mengarahkan individu untuk mengubah kondisi dirinya agar memperoleh konsekuensi yang efektif dari lingkungan. Individu tidak hanya  diajak untuk mengubah pandangannya, tetapi juga diarahkan untuk mengubah perilaku yang lebih efektif. Berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan self-esteem, metode self-instruction ini memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari beberapa pernyataan para tokoh serta penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
Teknik self-instruction pada awalnya dikembangkan oleh Meinchenbaum, (dalam Corey, 1996). Menurut Meinchenbaum, terapi self-instruction merupakan bentuk dasar dari restrukturisasi kognitif yang memfokuskan pada perubahan verbalisasi diri. Dalam penelitian yang akan dilakukan, pedoman teknik self-instruction diadaptasi dari Cormier (2003) karena penjabaran tahap-tahap pengaplikasiannya lebih spesifik dan terstruktur. Dasar aplikasi teori ini adalah proses merestrukturisasi sistem kognisi, namun lebih terpusat pada perubahan pola verbalisasinya. Menurut Meinchenbaum, pernyataan diri (self-statement) akan mempengaruhi tingkah laku seseorang, sebagaimana pernyataan yang diberikan oleh orang lain. Syarat awal dari intervensi ini adalah, individu harus mengenali cara mereka berpikir, merasa dan bertindak, serta bagaimana akibatnya terhadap orang lain.
Inti dari teknik self-instruction adalah konselor bertindak sebagai model dan melaksanakan tugas sambil berbicara pada diri sendiri secara keras/lantang, kemudian siswa diinstruksikan untuk melakukan tugas yang sama sambil menginstruksikan diri sendiri dengan keras dan lantang. Setelah itu, siswa membisikkan instruksi-instruksi tersebut pada diri sendiri. Akhirnya siswa melaksanakan tugasnya sambil memerintahkan diri secara tersembunyi (covertly)/ dalam hati.(Cormier, 2003).
Menurut Vigotsky (1962), tahapan terpenting dalam teknik self-instruction adalah individu secara perlahan berubah dari berbicara secara keras, kemudian mulai berbicara secara lirih di dalam hatinya (talking a loud to internal self-talk). Vigotsky menegaskan bahwa proses internalisasi perintah verbal merupakan langkah yang penting bagi individu dalam menciptakan kendali secara sadar terhadap perilakunya. Selain itu, Meinchenbeum, (dalam Corey, 1996), menggambarkan proses tahapan teknik self-instruction: (1) Observasi Diri: di awal intervensi, siswa diminta untuk mendengarkan dialog internal dalam diri mereka dan mengenali karakteristik pernyataan negatif yang ada. Proses ini melibatkan kegiatan meningkatkan sensitivitas terhadap pikiran, perasaan, perbuatan, reaksi fisiologis dan pola reaksi terhadap orang lain, (2) Memulai Dialog Internal Baru: Setelah siswa belajar untuk mengenali tingkah laku maladaptifnya, mereka mulai mencari kesempatan untuk mengembangkan alternatif tingkah laku adaptif dengan cara merubah dialog internal dalam diri mereka. Dialog internal yang baru diharapkan dapat menghasilkan tingkah laku baru, yang sebaliknya akan memberikan dampak terhadap struktur kognisi siswa, (3) Belajar keterampilan Baru: Siswa kemudian belajar teknik mengatasi masalah yang secara praktis dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang sama, siswa diharapkan untuk tetap memusatkan perhatian kepada tugas membuat pernyataan baru dan mengamati perbedaan hasilnya.
Penerapan self-instruction pada individu, dilakukan tidak dengan membohongi diri sendiri, tetapi secara jujur mengatakan apa yang sebenarnya dirasakan oleh individu. Individu perlu mendapatkan instruksi diri ini secara tertulis, sehingga individu bisa membaca dan mendengarkan perkataan  konselornya. Orang tua juga harus mengetahui bahwa anaknya tidak mengalami halusinasi, karena berbicara dengan dirinya sendiri, tetapi bahwa anaknya sedang menerapkan self-instruction untuk mengatasi suatu masalah yang sedang dihadapinya.
Hasil-hasil penelitian membuktikan bahwa metode self instruction efektif meningkatkan self esteem siswa. McGuire dan McGuire (dalam Lange dkk, 1998), menyatakan bahwa semakin seseorang memperhatikan karakteristik positif pada dirinya dan bukan pada karakteristik negatif, maka semakin tinggi tingkat self-esteem yang dimilikinya. Hal ini didukung pula oleh penjelasan Teaster (2004) bahwa pernyataan positif (positive self-statement) dapat meningkatkan self-esteem. Richard dkk, (1998) juga mengujicobakan teknik self-instruction pada 24 sampel yang memiliki self-esteem yang rendah. Kemudian mereka diinstruksikan untuk menulis hal-hal positif mengenai diri mereka sendiri dan kemudian diinstruksikan untuk membacanya dua kali setiap hari dalam periode selama tiga minggu. Hasilnya, self-esteem pada 24 sampel yang mendapat instruksi untuk membaca hal-hal positif mengenai dirinya meningkat secara signifikan, sedangkan sampel yang tidak mendapat instruksi self-esteemnya cenderung menurun. Penelitian serupa dilakukan Lange dkk, (1998) mengungkapkan bahwa teknik self-instruction berpengaruh signifikan pada self-regard, self-esteem dan self-confidence individu. Selain itu, Plunkett dkk, (2004) melakukan penelitian pada orang tua yang memiliki anak, kemudian diberikan terapi self-instruction yang hasilnya dari 72 orang, 80%nya ingin melakukan perubahan dalam cara mendidik anaknya dan kebanyakan orang tua juga ingin merubah diri mereka sendiri. Penelitian lain juga dilakukan oleh Larasati (2012) yang melakukan intervensi individual terhadap subjek yang memiliki self-esteem rendah dengan menggunakan metode self-instruction. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi metode self instruction dapat meningkatkan self-esteem pada subjek.
Selain efektif untuk meningkatkan self-esteem, metode self-instruction juga telah teruji efektif digunakan pada berbagai macam populasi, misalnya pada anak yang hiperaktif, mengontrol kemarahan, membantu siswa yang mengalami learning disability, meningkatkan self-efficacy, dll. Rath (1998), Sekiguchi (1999), and Taylor & O’Reilly (1997) (dalam Cormier, 2003) melakukan penelitian di India, Jepang dan Irlandia untuk mengujicobakan keefektifan dari pelatihan self-instruction pada anak cacat agar bisa meningkatkan self-efficacynya, kemudian diperoleh hasil, ternyata self-efficacy mereka meningkat dengan bertambahnya teman-teman baru dalam pergaulan sosial mereka. Teknik self-instruction juga digunakan Larmar (2006) dalam penelitiannya pada kelompok terapi selama lebih dari 9 minggu untuk melakukan perubahan perilaku yang mengganggu daya konsentrasi siswa yang berusia 12 tahun di SD Brisbane Metropolitan, Queensland, Australia. Hasilnya diperoleh dengan teknik self-instruction, perilaku yang mengganggu menurun secara signifikan sejalan dengan meningkatnya daya konsentrasi siswa.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode self-instruction ini dihipotesakan efektif untuk meningkatkan self-esteem  pada remaja, karena metode ini bertujuan untuk membentuk ulang pola-pola kognitif, asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan dan penilaian penilaian yang irasional, merusak dan menyalahkan diri sendiri. Dengan intervensi metode self-instruction ini, dapat membantu siswa mengubah distorsi-distorsi kognitif tersebut dengan menguji ulang keyakinan siswa dengan berbagai teknik persuasi verbal dan aktivitas yang diberikan secara berulang-ulang sampai siswa mampu melakukannya untuk diri mereka sendiri.(Cormier, 2003).
Berdasarkan uraian tersebut, metode self-instruction dapat menjadi salah satu solusi alternatif bagi konselor untuk membantu siswanya memecahkan masalah yang dihadapi terutama berkaitan dengan masalah self-esteem. Alasan pemilihan metode self instruction ini adalah karena dengan menerapkan metode self-instruction ini, siswa dapat menginstruksikan dirinya sendiri untuk mengganti keyakinannya yang negatif menjadi keyakinan positif. Selain itu, metode self instruction  juga dapat mengarahkan perilaku siswa menjadi lebih efektif. Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan metode self instruction dalam meningkatkan self esteem siswa SMA.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan pre-eksperimen dalam bentuk one-group pretest-posttest design. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Lab. Undiksha Singaraja. Dari populasi tersebut, dipilih beberapa siswa untuk menjadi subjek penelitian. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan pemenuhan kriteria-kriteria tertentu menggunakan teknik purposive sampling yaitu: (1) tercatat sebagai siswa kelas X SMA. Lab. Undiksha Singaraja, (2) teridentifikasi sebagai siswa yang memiliki self-esteem rendah berdasarkan pengukuran dengan skala self-esteem, dan selanjutnya subjek tersebut menjadi kelompok eksperimen.
Langkah-langkah metode self instruction yang diterapkan pada kelompok eksperimen adalah (1) Konselor menjelaskan prosedur intervensi dan manfaatnya, (2) Konselor bertindak sebagai model, memberikan contoh verbalisasi self-statement yang positif dengan suara lantang/keras kepada siswa, (3) Siswa kemudian mengikuti apa yang sudah dicontohkan konselor, memverbalisasikan self-statement yang positif secara lantang/keras (overt), (4) Siswa diintruksikan untuk mengulang kembali memverbalisasikan self-statement yang positif secara lantang/keras (overt), (5) Siswa diinstruksikan untuk memverbalisasikan self-statement yang positif dengan cara berbisik, (6) Terakhir, siswa menginstruksikan pada dirinya sendiri yaitu dengan memverbalisasikan self-statement yang positif  hanya dalam hatinya saja (covert), (7) Homework and Follow Up.
Penelitian ini melibatkan satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah metode self instruction. Sementara variabel terikat yang ingin ditingkatkan dalam penelitian ini adalah self esteem. Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen yaitu: (1) bahan perlakuan (stimulus material); dan (2) instrumen pengumpulan data berupa Skala Self-Esteem yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan teori dari Coopersmith (1967) dan telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Skala self esteem telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Validitas butir antara 0,32 sampai 0,64 dan reliabilitas kuesioner sebesar 0,915, yang berarti bahwa skala self esteem layak digunakan dalam penelitian. Untuk buku panduan pelatihan, telah divalidasi oleh ahli dengan indeks uji ahli sebesar 1, yang berarti memiliki validitas yang sangat tinggi dan layak digunakan sebagai bahan perlakuan. Skor rata-rata self esteem siswa digolongkan berdasarkan Tabel 1. Untuk mengetahui terjadinya peningkatan self esteem siswa, skor rata-rata self esteem sebelum diberikan pelatihan dan sesudah diberikan pelatihan dibandingkan. Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisis non parametrik uji Wilcoxon dengan program SPSS 20 for windows.

Tabel 1. Kriteria Penggolongan Self Esteem
Interval
Kriteria
104< Skor ≤ 128
80<  Skor  ≤ 103
56<   Skor  ≤ 79
32 ≤  Skor ≤ 55

Sangat Tinggi (ST)
Tinggi (T)
Rendah(S)
Sangat Rendah (R)



HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Setelah pelatihan metode self instruction diberikan pada kelompok eksperimen, posttest dilakukan untuk mengetahui keefektifan metode self instruction dalam meningkatkan self esteem siswa. Hasil posttest menunjukkan bahwa skor rata-rata self esteem siswa sebelum diberikan pelatihan metode self instruction sebesar 60,0 mengalami peningkatan setelah mendapatkan pelatihan metode self instruction menjadi 99,0. Rekapitulasi hasil analisis deskriptif antara pretest dan posttest disajikan pada Tabel 1.

  
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis Deskriptif antara Pretest dan Posttest
Statistik Deskriptif

N
Minimum
Maksimum
Rata-rata
Standar Deviasi
Sebelum
5
60.00
70.00
64.0000
4.69042
Setelah
5
96.00
105.00
99.0000
3.74166

Secara umum, self esteem siswa pada kelompok eksperimen mengalami peningkatan yang signifikan setelah mengikuti 4 tahap intervensi dalam 6 kali pertemuan pelatihan metode self instruction. Hasil analisis posttest menunjukkan bahwa ada perbedaan perolehan skor siswa sebelum mengikuti pelatihan dan sesudah mengikuti pelatihan. Pada subjek I (FT), sebelum mengikuti pelatihan skor pretest 62 (kriteria rendah), dan setelah mengikuti pelatihan skor posttest terakhir 98 (kriteria tinggi). Pada subjek II (WR), sebelum mengikuti pelatihan skor pretest 60 (kriteria rendah), dan setelah mengikuti pelatihan skor posttest terakhir 96 (kriteria tinggi). Pada subjek III (WN), sebelum mengikuti pelatihan skor pretest 68 (kriteria rendah), dan setelah mengikuti pelatihan skor posttest terakhir 100 (kriteria tinggi). Pada subjek IV(DN), sebelum mengikuti pelatihan skor pretest 70 (kriteria rendah), dan setelah mengikuti pelatihan skor posttest terakhir 105 (kriteria sangat tinggi). Pada subjek V (AD), sebelum mengikuti pelatihan skor pretest 60 (kriteria rendah), dan setelah mengikuti pelatihan skor posttest terakhir 96 (kriteria tinggi). 
Hasil analisis uji Wilcoxon dengan menggunakan SPSS versi 20.00, menunjukkan terdapat 5 observasi pada variabel sesudah yang lebih dari observasi pada variabel sebelum dengan rata-rata rangking (mean rank) = 3.00 dan tidak terdapat subjek yang nilai posttestnya kurang dari nilai pretest. Apabila dilihat dari nilai Z , dimana nilai z hitung  = 2,060  lebih besar dari z tabel = 1, 96 dengan Asymp. Sig. (2-tailed) 0.039 < α 0.05 berarti terjadi peningkatan  self-esteem siswa setelah pelatihan metode self-instruction. Hasil analisis uji Wilcoxon dijabarkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Uji Wilcoxon

Ranks

N
Mean Rank
Sum of Ranks
Sesudah - Sebelum
Negative Ranks
0a
.00
.00
Positive Ranks
5b
3.00
15.00
Ties
0c


Total
5


a. Sesudah < Sebelum
b. Sesudah > Sebelum
c. Sesudah = Sebelum

Test Statisticsa

Sesudah – Sebelum
Z
-2.060b
Asymp. Sig. (2-tailed)
.039
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.

Pembahasan
Temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa tingkat self-esteem siswa SMA sebelum diberikan pelatihan metode self-instruction berada pada kategori rendah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya tingkat self-esteem siswa, baik faktor internal maupun eksternal. Berdasarkan penemuan penelitian, faktor internal yang menyebabkan siswa memiliki kecenderungan untuk memiliki self-esteem rendah adalah karena merasa tidak puas dengan kondisi fisik yang dimilikinya. Penemuan penelitian ini mendukung pernyataan (Rhodes, 2004) bahwa terjadinya berbagai perubahan pada masa remaja baik perubahan secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi seringkali berdampak pada menurunnya self-esteem pada diri remaja. Selain itu, ada juga faktor eksternal yang mempengaruhi rendahnya tingkat self-esteem siswa yang peneliti temukan yaitu memiliki hubungan yang kurang baik dengan orang tua dan teman. Penemuan ini mendukung pernyataan (Santrock, 2007) bahwa hubungan remaja dengan orang tua dan teman menjadi kontributor penting terhadap tingkat self-esteem mereka. Dalam penelitian ini, juga ditemukan siswa yang memiliki permasalahan self-esteem selalu menampilkan perilaku mencari perhatian, yang kadang-kadang sangat mengganggu.  Hal ini mendukung pernyataan (McClure, 2010) bahwa remaja dengan self-esteem rendah juga memiliki kecenderungan untuk menampilkan perilaku mencari perhatian.
Terdapat empat aspek yang biasa menjadi tolok ukur individu dalam menilai dan menghargai dirinya yaitu aspek keberartian (significance), aspek kekuatan (power), aspek kemampuan (competence), dan aspek kabajikan (virtue)  (Coopersmith,1967:40). Aspek keberartian (significance) didefinisikan sebagai adanya kepedulian, perhatian dan afeksi yang diterima oleh individu dari lingkungannya. Aspek kekuatan (power) didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk bisa mengatur perilakunya sendiri dan mempengaruhi perilaku orang lain. Aspek kemampuan (competence) ditandai dengan perfomansi individu dalam mengerjakan bermacam-macam tugas dengan baik sesuai dengan tingkat usia dan tugas perkembangannya. Terakhir,vaspek kebajikan (virtue) ditandai dengan ketaatan individu terhadap standar moral, etika dan prinsip-prinsip religius. Namun demikian, biasanya hanya terdapat satu atau dua aspek saja yang paling menjadi perhatian dan paling berkontribusi dalam menurunkan self-esteem mereka (Coopersmith,1967:42).
 Dalam meningkatkan self-esteem siswa, prosedur pelaksanaan pelatihan metode self-instruction dikembangkan oleh peneliti sendiri dengan mengadaptasi tahap-tahap metode self-instruction dari Cormier (2003). Dalam proses pelatihan ini, konselor bertindak sebagai model. Ketika bertindak sebagai model, konselor berpedoman pada lima langkah yang merupakan bagian dari proses self-guidance yaitu (1) Bertanya, dalam tahap ini konselor memberikan contoh kepada siswa untuk bertanya kepada dirinya terkait dengan self-esteem yang rendah, (2) Menjawab pertanyaan dengan sebuah rencana, dalam tahap ini konselor mencontohkan dan mendorong siswa untuk merencanakan hal-hal yang bisa digunakan untuk mengatasi masalahnya dan menggali munculnya harapan-harapan positif pada siswa, (3) Membimbing diri dan memfokuskan perhatian, dalam tahap ini konselor mencontohkan kepada siswa untuk memusatkan perhatian dan konsentrasi pada rencana dan harapan positif yang telah dirancang, (4) Mengevaluasi diri dan mengoreksi kesalahan, dalam tahap ini konselor mencontohkan kepada siswa dan mendorong siswa agar mampu mengidentifikasi dan menganalisis pikiran-pikiran yang menyebabkan dialog internal negatif terkait dengan self-esteemnya, sehingga siswa mampu mengolah pikiran (kognitif) dan perasaan (afektif) untuk menggagas dialog internal baru yang positif, (5) Self-reinforcement, dalam tahap ini konselor mencontohkan kepada siswa untuk memberikan reward kepada diri sendiri dengan menggunakan pujian atau kata-kata motivasi.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat aspek self esteem pada masing-masing subjek kelompok eksperimen sesudah mengikuti pelatihan metode self instruction memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti pelatihan metode self instruction. Setelah mengikuti pelatihan metode self-instruction, Subjek I (FT) mengalami peningkatan pada aspek kemampuan (competence) dan keberartian (significance) yaitu menjadi lebih mudah berinteraksi dengan teman-teman yang lain dan lebih optimis dalam melakukan sesuatu serta berani menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Subjek II (WR) juga mengalami peningkatan pada aspek kemampuan (competence) dan keberartian (significance) yaitu mengalami perubahan perilaku menjadi lebih percaya diri dan menjadi diri sendiri, sehingga mudah berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Subjek III (WN) mengalami peningkatan pada aspek kemampuan (competence), keberartian (significance) dan aspek kekuatan (power) yaitu lebih berani berbicara dan mengemukakan pendapatnya walaupun belum optimal (hal ini terlihat dari keaktifan WN selama proses pelatihan.  Subjek IV (DN) mengalami peningkatan pada aspek kemampuan (competence) dan keberartian (significance) yaitu lebih menghargai dirinya sendiri dan orang lain dengan tidak selalu berkata kasar,  sehingga mudah berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Subjek V (AD) mengalami peningkatan pada aspek kemampuan (competence) yaitu menjadi lebih terbuka untuk mengungkapkan permasalahannya, tanpa harus menimbulkan masalah baru.
Peningkatan self-esteem dalam diri setiap peserta pelatihan diawali dengan adanya kesadaran bahwa mereka tidak ingin memiliki self-esteem rendah yang sangat menghambat dan merugikan diri mereka untuk dapat lebih menikmati hidup. Setelah adanya kesadaran itu, maka mereka mulai memotivasi diri untuk keluar dari perasaan self-esteem rendah dengan menggunakan verbalisasi diri. Hasilnya, self-esteem mereka mengalami peningkatan secara signifikan yang diukur dengan skala self-esteem melalui posttest.
Semua peserta pelatihan merasakan manfaat dari pelaksanaan pelatihan metode self instruction ini yaitu (1) melalui pelatihan metode self-instruction ini, siswa memiliki kesadaran bahwa dengan memiliki self-esteem rendah akan sangat merugikan dan menghambat kreatifitas, (2) melalui pelatihan metode self-instruction ini, siswa menjadi lebih bebas mengekspresikan dirinya dengan selalu memerintah dirinya dalam hati untuk melakukan hal-hal positif yang bagus untuk perkembangannya, (3) melalui pelatihan metode self-instruction ini,  siswa menjadi lebih berani berbicara dengan menghilangkan pandangan yang negatif tentang dirinya menjadi hal yang positif, (4) melalui pelatihan metode self-instruction ini, konselor dan siswa saling memberikan dukungan dan motivasi untuk keluar dari masalah self-esteem, (5) melalui pelatihan metode self-instruction ini, dapat memerintah diri melakukan hal-hal yang positif kapanpun dan di manapun sesuai dengan kebutuhan.
Efektifitas pelatihan metode self-instruction untuk meningkatkan self-esteem siswa dalam penelitian ini, memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya oleh Plunkett, dkk; (2004) yang melakukan penelitian pada orang tua yang memiliki anak, kemudian diberikan terapi self-instruction yang hasilnya dari 72 orang, 80%nya ingin melakukan perubahan dalam cara mendidik anaknya dan kebanyakan orang tua juga ingin merubah diri mereka sendiri. Penelitian terbaru dilakukan oleh Larasati (2012) yang melakukan intervensi individual terhadap subyek yang memiliki self-esteem rendah dengan menggunakan metode self-instruction. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi metode self instruction dapat meningkatkan self-esteem pada subjek.
Melalui dukungan referensi pengetahuan yang akurat dalam menyusun buku panduan pelatihan dan respons psikologis yang tepat saat pelatihan, diharapkan dapat memanipulasi dan mengarahkan pandangan serta keyakinan siswa sehingga siswa dapat lebih memperhatikan karakteristik positif pada dirinya dan bukan pada karakteristik negatif, yang akan berefek pada semakin tinggi tingkat self-esteem yang dimilikinya. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian tersebut di atas, sangat penting bagi pihak sekolah, khususnya konselor sekolah untuk berdedikasi membantu mengatasi permasalahan self-esteem siswa melalui berbagai kegiatan bimbingan dan konseling, yang salah satunya dengan memberikan pelatihan menggunakan metode self-instruction.

Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data, dapat ditarik kesimpulan bahwa  ada perbedaan yang signifikan self esteem siswa sebelum mengikuti pelatihan metode self-instruction dengan self esteem siswa setelah mengikuti pelatihan metode self instruction. Skor rata-rata self esteem siswa setelah mengikuti pelatihan metode self instruction lebih tinggi daripada skor rata-rata sebelum mengikuti pelatihan metode self instruction. Berkenaan dengan hasil penelitian, diharapkan metode self instruction dapat diterapkan dan dikembangkan khususnya oleh konselor/guru BK di sekolah dalam rangka meningkatkan self esteem siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Bali Post. 2012. Kasus Bunuh Diri Didominasi Pelajar, (Online), (http://www.balipost.co.id diakses 10 Februari 2013).

Bos, A.E.R., Muris, P., Sandra, M., Herman P.S. 2006. Changing Self-Esteem in Children and Adolescents : A Roadmap for Future Interventions. Adolescent Development. Annual reviews of Psychology, 52 : 83-110.

Coetzee, M. 2009. The Relationship Between Personality Preferences, Self esteem and Emotional Competence.

Coopersmith, S.1967. The Antecedents of Self Esteem. San Fransisco. W.H. Freeman and Company.

Cormier, S. & Nurius, S.P. 2003. Interviewing and Change Strategises for Helper. Brooks/Cole.USA.

Corey, G. 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, Fifth Edition. California State University, Fullerton Diplomate in Counseling Psychology, American Board of Professional Psychology : Brooks/Cole

Davidson, K.M. & Blackburn, I.M. 1990. Cognitive Therapy for Depression and Anxiety. Cambrige. USA.

Hurlock, B. E. 2004. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima . Yogyakarta : Erlangga.

Lange, A. dkk. 1998. The Effects of Positive Self-Instruction : A Controlled Trial. Cognitive Therapy and Research, Vol 22, 225-236

Larmar, S. 2006. The Use of Group Therapy as a Means of Fasilitating Cognitive-Behavioral Instruction for Adolescents with Distruptive Behavior. Australian Journal of Guidance and Counseling. Vol.16, 233-248.
Larasati, WP. 2012. Meningkatkan Self Esteem Melalui Metode Self Instruction. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Indonesia.

Lawrence, D.2006. Enhancing Self Esteem in The Classroom. California. Sage Publication.

Mc.Clure, A.C., Tanski, S.E., Kingsbury, J, Gerrard, M., Sargent, J.D. 2010. Characteristics Associated with  Low Self-Esteem Among US Adolescents. Academic Pediatrics; Proquest.

Mruk, C.J. 2006. Self-Esteem Research, Theory and Practice : Toward A Positive Psychology of Self esteem. New York : Springer Publising Company.

Plunkett, S.W. Et al. 2004. Effectiveness of Self-Instruction Positive parenting. Journal of Family & Consumer Sciences, Vol 96, 34-39.

Pupitasari, M. 2007. Hubungan antara Self-Esteem, Kecerdasan Emosional, dan Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas Akselerasi di SMA. Negeri 1 Blitar. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FIP UM.

Republika, 2012. Depresi Berat, Anak SMA Sayat Urat nadi dengan Silet. (online) (www.replubika.co.id diakses 10 Februari  2013).

Rhodes, J.,Roffman,J., Reddy, R., Fredriksen, K. 2004. Change in self-esteem during the middle school years : a latent growth curve study of individual and contextual influences. Journal of  School Psycology 42, 243-261.

Rice, F.P. 1996. The Adolescent : Development, Relationships and Culture. Eight Edition. Boston : Allyn and Bacon.

Richard, Et al. 1998. The Effects of Positive Self-Instructional : A Controlled Trial. Journal Cognitive Therapy and Research. Vol 22, 225-236.

Santrock,J.2003. Adolescance : Ninth Edition. New York :McGraw-Hill Companies Inc.

Santrock,J. 2007. Adolescence : An Introduction : Eleventh Edition. USA: Mc. Graw Hill
Steinberg, L. 2002. Adolescence. New York : Mc. Graw-Hill, Inc.

Teaster, F.J. 2004. Positive Self Talk Statements as a Self Esteem Building Technique Among Female Survivors of Abuse. Proquest Information and Learning Company.

Tempo, 2012. Dimarahi Ibu, Siswi SMA Nekat Gantung Diri (online)(www.tempo.co) diakses 10 Februari 2013).

Vygotsky, L. 1962. Thought and Language. New York : Wiley.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar