Sabtu, 02 Agustus 2014

SERTIFIKAT SEBAGAI PEMAKALAH


SURAT KETERANGAN KETUA PENYUNTING JPP


TIM EDITOR JURNALPENDIDIKAN DAN PENGAJARAN


COVER JURNAL PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN










PENELITIAN TINDAKAN BIMBINGAN KONSELING (PTBK)


Disampaikan dalam Kegiatan Pelatihan Penyusunan Proposal Penelitian Tindakan Bimbingan Konseling (PTBK) yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat Undiksha


Oleh:
Luh Putu Sri Lestari
Putu Ari Dharmayanti




JURUSAN BIMBINGAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2010




BAB I
PENDAHULUAN


       A.  Latar Belakang        
Penelitian tindakan bagi guru adalah  kegiatan yang sangat strategis untuk dilakukan. Hasilnya dapat dijadikan evaluasi untuk mengetahui apakah pembelajaran atau layanan bimbingan yang telah dilakukan  efektif atau belum. Disisi lain penelitian dilakukan bertujuan untuk memperbaiki atau mengembangkan stategi pembelajaran atau layanan bimbingan dan konseling kearah yang lebih inovatif sesuai dengan perkembangan. Meski disadari bahwa   melakukan penelitian memiliki arti dan manfaat penting bagi pengembangan profesi guru, namun tidak banyak guru  yang memiliki  komitmen untuk melakukannya. Hasil pemeriksaan portopolio guru pada  program sertifikasi guru dalam jabatan  beberapa angkatan menunjukkan, bahwa tidak lebih dari 10 % guru yang pernah melakukan penelitian. Kalau memang ada yang melakukan penelitian, maka penelitian yang dilakukan  umumnya jenis penelitian  eks post facto yaitu, meneliti gejala-gejala yang telah ada.
Wawancara dengan para guru, terkait dengan rendahnya jumlah mereka  melakukan penelitian, menurutnya  disebabkan antara lain karena, (1)  kemampuan mereka untuk melakukan penelitian belum optimal, (2)  kebiasaan mereka melakukan penelitian belum terbentuk, dan (3)  bahwa penelitian tindakan yang dikembangkan dewasa ini belum dilatihkan semasa mereka mengikuti pendidikan prajabatan. 
            Alasan yang tidak jauh berbeda juga terlontar dari para guru pembimbing di sekolah (terutama yang belum mengikuti program sertifikasi) ketika dilakukan wawancara saat bersama-sama melakukan supervisi pelaksanaan PPL Bimbingan Konseling  bagi mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling. Dari alasan-alasan yang disampaikan di atas, dapat diduga bahwa jenis-jenis  layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan selama ini oleh guru pembimbing belum mengarah kepada kajian hasil-hasil penelitian tentang bimbingan dan konseling. Teknik dan pendekatan layanan yang digunakan guru pembimbing selama ini kelihatannya  masih berlandaskan kepada pengalaman  dan pengetahuan yang diperoleh selama dalam  pendidikan prajabatan. Padahal, ilmu pengetahuan telah berkembang pesat, kebutuhan peserta didik tentang bimbingan juga berbeda dengan perkembangan peserta didik di masa lalu disamping karena perkembangannya yang unik sehingga perlu penanganan sesuai dengan keunikan masing-masing. 
Jika kondisi seperti ini terus berlanjut tentu perkembangan layanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak lagi sejalan dengan perkembangan di atas. Akibatnya, layanan yang diberikan guru pembimbing cenderung monoton dan tidak ada inovasi yang berarti. Penelitian tindakan dalam bimbingan dan konseling adalah penelitian yang memerlukan layanan segera dengan teknik dan pendekatan  variatif sesuai dengan perkembangan individu siswa masing-masing.  Layanan akan selalu berkembang seiring dengan karakteristik masing-masing siswa. Dalam penelitian tindakan akan ditemukan cara-cara baru yang lebih adaptif dengan perkembangan siswa.
Terkait dengan pengembangan profesi, beberapa pihak mengharapkan agar guru lebih meningkatkan perannya dalam mengemban tugas  pendidikan sehingga kualitas hasil dapat ditingkatkan. St. Kartono ( 2002:102),  seorang guru dan praktisi pendidikan mengharapkan agar rekan-rekannya sebagai guru melakukan kegiatan yang profesional. Ia mengatakan, ”Seorang guru yang menunjukkan tanggungjawab profesional mesti secara aktif terlibat kegiatan  pengembangan profesi dan menujukkan sebuah komitmen untuk belajar terus menerus, mengusahakan untuk melibatkan diri kedalam proses, refleksi secara kritis terhadap praktek-praktek kualitas pembelajaran dan pengajaran”.  Di pihak lain, dari kalangan pergutuan tinggi sebagai produsen guru juga memiliki harapan seperti itu. Raka Joni (1992:17) misalnya, mengakui bahwa perlakuan kita terhadap guru masih cukup jauh dari yang diharapkan, tetapi agaknya tidak sulit untuk menyepakati bahwa tugasnya adalah teramat penting. Secara macro tugas guru berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan paling menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa. Di bagian  lain tulisannya (2002:22) ia mengatakan bahwa  ” sebagai pekerja profesional memang seharusnyalah seorang guru sesekali melakukan penelitian tindakan kelas sebagai  salah satu bentuk penelitian terapan yang secara praktis mendukung pelaksanaan tugasnya sehari-hari”.
            Mengadopsi dari penelitian tindakan kelas, maka penelitian tindakan bimbingan konseling penting untuk dilatihkan kepada guru pembimbing agar mereka memiliki wawasan tentang inovasi dan perkembangan layanan bimbingan konseling dengan melakukan  bentuk kajian yang bersifat reflektif secara terus-menerus terhadap layanan yang dilakukan. 

     B. Perumusan Masalah
            Berdasarkan paparan dalam latar belakang di atas, maka beberapa permasalahan pokok dapat dirumuskan sebagai berikut
1.      Rendahnya motivasi guru pembimbing melakukan kegiatan penelitian khususnya penelitian tindakan bimbingan dan konseling. Rendahnya motivasi ini disebabkan karena (a) pemahaman mereka tentang teori penelitian tindakan belum optimal, (b) kebiasaan melakukan penelitian belum terbentuk dan (3) model penelitian tindakan bimbingan bagi mereka adalah sesuatu yang baru yang belum pernah diperoleh ketika mereka mengikuti pendidikan prajabatan.
2.      Penelitian tindakan bimbingan dan konseling adalah bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh guru pembimbing untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan layanan bimbingan dan konseling, memperdalam pemahaman terhadap tindakan layanan yang dilakukan serta memperbaiki kondisi dimana praktek-praktek layanan bimbingan dan konseling  dilakukan. Jenis penelitian yang bersifat reflektif ini akan dilatihkan kepada para guru pembimbing SMP/SMA /SMK Kabupaten Buleleng untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan mengaplikasikan rancangan tersebut dalam penelitian riil di sekolah masing-masing.
3.      Jika rancangan penelitian tindakan bimbingan dan konseling dipahami secara akurat oleh guru pembimbing,  diharapkan para guru pembimbing terdorong untuk melakukan penelitian tindakan dalam rangka  menemukan dan memilih stategi inovatif layanan bimbingan dan konseling.
4.      Lingkup kegiatan pelatihan ini meliputi, (a) pemberian informasi tentang penelitian tindakan bimbingan, (b) contoh judul-judul  penelitian tindakan bimbingan dan konseling, (c) latihan peserta menyusun proposal penelitian tindakan bimbingan dan konseling.

C.  Tujuan Kegiatan
 Kegiatan  ini dilakukan untuk  tujuan sebagai berikut.
1.      Memberi pemahaman tentang model penelitian tindakan bimbingan konseling kepada guru pembimbing pada jenjang SMP dan SMA di Kabupaten Buleleng
2.      Untuk melatih peserta menyusun rancangan proposal penelitian   tindakan bimbingan dan konseling.

D.  Manfaat Kegiatan
       Setelah kegiatan ini berakhir beberapa pihak diharapkan memperoleh manfaat sebagai berikut.
1.      Bagi guru pembimbing, kegiatan ini diharapkan memberi (1) pemahaman baru tentang model penelitian tindakan bimbingan dan  konseling, (2) memberi peluang untuk melakukan latihan penelitian tindakan bimbingan dan konseling dalam rangka   pengembangan  dan  perbaikan layanan yang telah berjalan apabila dinilai belum  memadai.    
2.      Bagi sekolah, kegiatan ini memberikan kontribusi yang berharga dalam rangka  mengembangkan kemampuan guru pembimbing  melakukan penelitian tindakan  untuk   membantu  siswa yang bermasalah  dengan latar belakang  berlatar belakang yang beragam. 





BAB II
PEMBAHASAN

Bimbingan konseling adalah “ layanan kemanusiaan”,  kata M. Djawad Dahlan (1988:15). Sebagai pelayan kemanusiaan harusnya mampu menyingkap manusia dari berbagai dimensi dengan  berbagai teknik dan pendekatan.  Kasus-kasus siswa yang  terjadi di sekolah perlu dicermati penangannya dari berbagai sisi, mulai dari pemahaman terhadap latar belakang masalah kasus, faktor penyebab, perumusan alternatif solusi pemecahan masalah sampai pada kemungkinan guru pembimbing melakukan treatment yang layak bagi perubahan yang diharapkan terjadi pada siswa yang dibantu. Setiap kasus memerlukan cara-cara yang berbeda dalam penganganannya. Perbedaan ini disebabkan karena setiap individu disamping memiliki karakter yang tidak sama individu  berkembang dalam lingkungan yang berbeda.  Perbedaan ini dikatakan oleh Rochman Natawidjaja dan Moein Moesa (1993:32) sebagai berikut. “Salah satu kenyataan adalah siswa-siswa memperlihtakan perbedaan-perbedaan dalam kemampuan mengikuti pelajaran yang diberikan. Ada  kelompok siswa yang senang dan gampang menerima pelajaran yang berkaitan dengan visual, sedangkan kelompok lain sebaliknya, senang dan dapat merespon dengan baik pelajaran-pelajaran yang diberikan secara lisan ( oral). … Kapasitas setiap siswa untuk belajar adalah unsur perbedaan individual yang amat menonjol”.  Perbedaan-perbedaan inilah yang memerlukan layanan bimbingan yang tidak sama.  Mekanisme untuk memberilakn layanan yang berragam terhadap individu yang berbeda inilah memerlukan sebuah pengkajian melalui  rancangan penelitian tindakan bimbingan dan konseling yang jelas. Implementasi rancangan penelitian  yang sistematis diharapkan menghasilkan pola-pola bantuan yang sesuai dengan keadaan masing-masing individu yang dilayani.
            Penelitian tindakan kelas adalah, suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan, yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dIlakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktek-praktek pembelajaran tersebut dilakukan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut PTK dilaksanakan berupa proses pengkajian berdaur (Depdikbud, Dirjen Dikti Proyek PGSM, 1999:6). Mengadopsi pengertian ini maka penelitian tindakan   bimbingan dan konseling adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh guru pembimbing sebagai pelaku  tindakan, untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan – tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan layanan  yang dIlakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktek-praktek layanan tersebut dilakukan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka penelitian tindakan bimbingan dan konseling pun dilaksanakan berupa proses pengkajian berdaur. Jika penelitian tindakan kelas hanya dapat dilakukan dalam setting kelas maka penelitian tindakan bimbingan dan konseling bisa dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas. 
            Tujuan yang diharapkan tercapai melalui penelitian tindakan bimbingan dan konseling adalah,
1.      Memperbaiki/memperbaharui praksis layanan secara langsung disini dan sekarang dengan memusatkan perhatian/kajian bimbingan  
2.      secara spesifik- kontekstual
3.      Meningkatkan layanan profesional dalam membantu mengembangkan potensi siswa secara optimal.
4.      Mengembangkan keterampilan guru pembimbing yang bertolak dari kebutuhan untuk menanggulangi berbagai permasalahan dalam layanan bimbingan dan konseling
  1. Menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru pembimbing sehingga pelaksanaan layanan disertai dengan mekanisme koreksi diri ( sebagai karakteristik strategis profesionelisme.
Sedangkan manfaat dari pengabdian pada masyarakat   melalui penelitian tindakan  bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut.
1.        Mendorong rasa percaya diri guru pembimbing untuk melakukan inovasi layanan (keberanian untik mencoba strategi baru)
2.        Guru pembimbing tidak berpuas diri dengan rutinitas layanan bimbingan dan konseling
3.        Layanan bimbingan dan layanan konseling akan lebih inovatif, variatif dan lebih efektif dibandingkan inservice training
4.        Dimungkinkan dilakukan perubahan layanan  bagi guru, siswa dan atau materi layanan
            Tahap-tahap penelitian tindakan dalam  bimbingan dan konseling tidak berbeda dengan penelitian tindakan kelas. Perbedaannya hanya pada  setting penelitiannnya. Dalam penelitian bimbingan dan konseling dapat dilakukan di dalam dan di luar kelas. Hal yang kedua yang perlu diperhatikan adalah,  bahwa  bimbingan dan konseling merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi tujuannya sama. Keduanya melibatkan siswa sebagai subyek layanan tetapi teknik, sifat, jumlah subyeknya yang berbeda.  
            Dalam membantu siswa yang bermasalah (kasus) melalui bimbingan misalnya,  menurut Prayitno (2002:21) hendaknya melalui langkah-langkah  sebagai berikut:
a.         Menggambarkan keadaan individu yang dibimbing. Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan gambaran tentang individu siswa yang akan dibantu. Gambaram ini meliputi berbagai hal yang terkait dengan individu.
b.        Mencari latar belakang masalah individu yang bermasalah. Kegiatan ini meliputi, menemukan latar belakang masalah kenapa individu mengalamai masalah sebagaimana yang digambarkan dalam latar belakang.
c.         Memprediksi latar depan kasus. Dalam kegiatan ini pembimbing merumuskan berbagai kemungkinan negatiF yang mungkin  akan terjadi jika siswa yang bersangkutan tidak segera dibantu. 
d.        Merumuskan alternatiF pemecahan. Pembimbing merumuskan berbagai alternative pemecahan / cara-cara yang mungkin bisa dilakukan untuk membantu siswa memecahkan masalah atau mengembangkan potensi yang dimiliki.
e.         Melakukan treatmeTn/tindakan. Setelah berbagai alternatif dirumuskan maka pembimbing melakukan seleksi terhadap alaternatif-alternatif tersebut dan memilih alternatif yang paling mungkin untuk dilakukan. Alternatif yang terpilih diimplementasikan  dalam bentuk tindakan. Disinilah proses bantuan akan terjadi. Apa yang akan dilakukan kemudian oleh siswa setelah proses treatmen ini merupakan keputusan individu yang dibantu untuk melaksanakan alternative tersebut.
f.         Tindak lanjut. Kegiatan pembimbing dalam hal ini adalah,  memantau hasil keputusan  pada langkah treatmen. Refleksi akan dilakukan berdasarkan hasil pantauan pembimbing terhadap keputusan tindakan yang dilakukan oleh siswa yang dibantu. Peran pembimbing disini adalah, menemukan teknik atau pendekatan baru dalam tindakan berikutnya atau meningkatan efektifitas dan intensitas layanan bimbingan yang sama.
Sedangkan mekanisme membantu siswa yang bermasalah dengan  konseling dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut.                     
1.        Menandai perilaku bermasalah dan menspesifikasi  perilaku yang dinilai bermasalah
2.        Merumuskan tujuan yang ingin dicapai ( menghapus perilaku yang maladaptif dan memperkuat dan  mempertahankan perilaku yang diinginkan.
3.        Mengukur kekuatan konseli ( siswa bermasalah)
4.        Menentukan strategi pengukuran perubahan setiap perilaku dengan memberikan reinforcement untuk meningkatkan motoivasi konseli
5.        Menilai proses konseling yang telah berjalan ( apakah konseli cukup partisipatif)
6.        Pengambilan keputusan
7.        Pelaksanaan tindakan
8.        Pemantauan / Perbaikan  tindakan 
9.        Pelaksanaan tindakan perbaikan, observasi dan interpretasi
10.    Analisis dan refleksi
11.    Perencanaan tindak lanjut (berdaur) ( Gerald Corey, 1088:204)
            Meski berbeda teknik, tetapi langkah-langkah dalam penelitian tindakan bimbingan dan konseling secara umum sama dengan PTK yaitu (1) penetapan fokus masalah, (2) perencanaan tindakan bimbingan/konseling, (3) pelaksanaan tindakan dan observasi-interpretasi, (4) Analisis dan refleksi serta (5) tindak lanjut.
A.      Materi Kegiatan
Materi Kegiatan meliputi :
1.    Konsep penelitian tindakan
2.    Contoh Proposal penelitian tindakan
3.    Contoh-contoh topik penelitian tindakan
B.       Metode Pelaksanaan
Metode/strategi kegiatan akan meliputi:
1.    Metode ceramah (pemberian informasi)
2.    Diskusi materi
3.    Presentasi draf proposal penelitian tindakan
4.    Sharing/Diskusi hasil presentasi
5.    Latihan penyusunan proposal penelitian tindakan BK
6.    Pemeriksaan proposal
Dilanjutkan di sekolah masing-masing dan dicoba untuk diaplikasikan
C.      Rancangan Evaluasi
Kegiatan awal sebelum dilakukan evaluasi adalah
a.    Memberikan informasi kepada peserta melalui ceramah tentang konsep dasar, langkah-langkah penelitian bimbingan dan konseling.
b.    Dilakukan diskusi untuk mengetahui pemahaman peserta tentang konsep penelitian tindakan bimbingan konseling.
c.    Kemampuan peserta menyusun rancangan penelitian tindakan bimbingan dan konseling dan kemampuan  melakukan penelitian  dilakukan pada (1) Akhir Pelatihan. Di akhir pelatihan akan dilakukan evaluasi untuk melihat apakah peserta memiliki kemampuan untuk menyusun proposal penelitian. Kriteria pengukuran anatara lain : (a) kemampuan merumuskan judul, (b) kemampuan menyusun latar belakar yang menggambarkan kesenjangan yang diamati  dengan kondisi yang diharapkan, (c) kemampuan merumuskan masalah, (d) kemampuan merumuskan tujuan penelitian, (e) kemampuan menjelaskan teori-teori yang akan mendukung penelitian, (f) kemampuan menentukan populasi, sampel, pengumpulan data dan  analisis data (g) kemampuan merancang langkah-langkah penelitian). (2) Memantau peserta melalui kegiatan guru pembimbing di sekolah. Apakah peserta mampu melakukan penelitian  setelah bertugas di sekolah, dapat diamati ketika pelatih melakukan kunjungan ke sekolah bersamaan dengan kegiatan supervisi mahasiswa melakukan kegiatan PPL Bimbingan Konseling di sekolah latihan.



BAB III
PENUTUP

     A. Kesimpulan
Dengan mengikuti kegiatan ini, diharapkan guru BK SMP/SMA/SMK di Kabupaten Buleleng memperoleh informasi mengenai konsep dasar penelitian tindakan bimbingan konseling, bagaimana langkah-langkah pembuatan proposal penelitian tindakan bimbingan konseling dan melatih kemampuan peserta menyusun rancangan proposal penelitian tindakan bimbingan konseling.
.
     B.  Saran
Disarankan kepada guru BK, hendaknya memiliki kesadaran untuk meningkatkan motivasi dalam melaksanakan penelitian tindakan bimbingan konseling untuk meningkatkan komitmen profesi, khususnya dalam mengembangkan profesi bimbingan konseling.


DAFTAR PUSTAKA.
   Djawad Dahlan (1983);  Sumbangan Pikiran Tentang Perwujudan Tujuan Pendidikan Nasional, Bandung,  IKIP.
   Gerald Corey, (1988) Teory and Practice Counseling and Psichoterapy, alaih bahasa E. Koswara; Bandung, PT. Eresco.
   Kartono, St; (2002) Menebus Pendidikan Yang Tergadai Catatan Reflektif Seorang Guru, Yogyakarta, Kanisius
   Prayitno (1997), Bimbingan Konseling di Sekolah  Menengah; Jakarta, PT. Ikrar Mandiri Abadi
   Raka Joni T. (1992); Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru, Jakarta, Konsorsium Ilmu Pendidikan Dirjen Dikti, Depdikbud
   Rochman Natawidjaya dan M. Moesa (1993) Psikologi Pendidikan; Jakarta,  Depdikbud
   Tim Peneliti Proyek PGSM (1999); Penelitian Tindakan Kelas ( Classroom Action Research) Jakarta Depdikbud, Dirjen Dikti,  Proyek  PGSM















ARTIKEL JURNAL PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN (JPP) LESTARI

 PELATIHAN METODE SELF INSTRUCTION 
DAPAT MENINGKATKAN SELF ESTEEM SISWA SMA

Luh Putu Sri Lestari
Jurusan Bimbingan Konseling FIP Undiksha
Email : srilestaribk@gmail.com (081239524239)

Abstract: Self Instruction Method Training
to Improving Self Esteem of Senior High School Students. This research aimed at finding out the effectiveness of Self-Instruction Method training in improving self-esteem of the senior high school students. This research used experimental design that was one-group pretest-posttest design with the subjects involved were five students of Senior High School Laboratorium Undiksha Singaraja Grade XI. Those students were identified to have low self-esteem. The instruments used were the scale of self-esteem and the instrument for treatment materials in the form of training manuals using the method of self-instruction. The results showed that there were differences on the level of students’ self-esteem before and after training interventions using self-instruction method. By using Wilcoxon Signed-Rank Test, in which the value of z count = 2.060 > z table = 1.96 and p = 0.039 < 0.05 indicated that the intervention of self-instruction method was significantly able to improve the students’ self esteem.

Keywords : self instruction, self  esteem, cognitive behavior

ABSTRAK: Pelatihan Metode Self Instruction dapat Meningkatkan Self Esteem Siswa SMA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pelatihan metode self-instruction dalam meningkatkan self-esteem siswa SMA. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen yaitu one-group pretest-posttest design dengan subjek 5 orang siswa kelas XI SMA. Lab. Undiksha Singaraja yang teridentifikasi sebagai siswa yang memiliki self-esteem rendah. Instrumen yang digunakan yaitu skala self-esteem dan instrumen untuk bahan perlakuan berupa buku panduan pelatihan dengan metode self-instruction. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat self-esteem siswa sebelum dan setelah mendapatkan intervensi pelatihan dengan metode self-instruction. Dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed-Rank Test, dimana nilai z hitung = 2,060 > z tabel = 1,96 dan p = 0,039 < 0,05, yang berarti intervensi metode self-instruction secara signifikan dapat meningkatkan self esteem siswa.

     Kata-kata kunci: self instruction, self esteem, cognitive behavior

Pendukung utama tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia bermutu adalah pendidikan yang bermutu. Proses penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tidak cukup dilakukan dengan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus didukung oleh peningkatan profesionalisme dan sistem manajemen tenaga pendidik serta pengembangan kemampuan siswa untuk menolong diri dalam memilih dan mengambil keputusan demi mencapai cita-citanya.
Kemampuan siswa seperti ini, tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektual dan sistem nilai siswa. Berkaitan dengan pemikiran tersebut, tampak bahwa pendidikan yang bermutu di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat adalah pendidikan yang mengantarkan siswa pada pencapaian standar akademis yang diharapkan dalam kondisi perkembangan diri yang sehat dan optimal. Para siswa di SMA atau sederajat memiliki karakteristik, kebutuhan, dan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya.
 Adapun tugas-tugas perkembangan siswa SMA atau sederajat menurut Havigurst (dalam Hurlock, 2004) yaitu: 1) mencapai kematangan dalam beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2) mencapai kematangan dalam hubungan teman sebaya, serta kematangan dalam perannya sebagai pria dan wanita, 3) mencapai kematangan pertumbuhan jasmani yang sehat, 4) mengembangkan penguasaan ilmu, teknologi, seni sesuai dengan progam kurikulum, persiapan karier dan melanjutkan pendidikan tinggi, serta berperan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas, 5) mencapai kematangan dalam pemilihan karier, 6) mencapai kematangan gambaran dan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, sosial, intelektual dan ekonomi, 7) mencapai kematangan gambaran dan sikap tentang kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, 8) mengembangkan kemampuan komunikasi sosial dan intelektual serta apresiasi seni, serta 9) Mencapai kematangan dalam sistem etika dan nilai. Kemampuan akademis dan kesembilan tugas perkembangan siswa di SMA atau sederajat itu merupakan suatu kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa SMA atau sederajat secara optimal.
Siswa SMA berada pada rentangan umur masa remaja. Masa remaja sering digambarkan sebagai masa yang paling indah, dan tidak terlupakan. Kondisi ini disebabkan pada masa ini merupakan masa yang penuh dengan kegembiraan dan tantangan. Salah satu tantangan yang dihadapi remaja adalah kondisi identik yang disebut dengan kata pemberontakan (masa storm and stress ) karena banyaknya goncangan-goncangan dan perubahan yang cukup radikal dari masa sebelumnya (Santrock, 2007; Hurlock, 2004).
Pada masa remaja juga terjadi banyak perubahan pada diri seseorang, termasuk dalam hal biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Selain menunjukkan adanya perubahan fisik serta psikologis, pada masa remaja juga terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi secara penuh menjadi lebih mandiri (Steinberg, 2002). Perubahan yang dialami remaja merupakan masa yang sulit untuk dilalui karena pada masa ini remaja perlu belajar mengatasi pubertas sekaligus transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah. Diantara berbagai perubahan yang terjadi, perubahan dalam aspek psikologis dipandang sebagai isu yang paling penting pada masa remaja, terutama sejak berkembangnya teori Erickson yang menyatakan identitas diri sebagai tugas perkembangan remaja. Apabila remaja mengembangkan penilaian negatif mengenai diri mereka dalam usahanya membentuk identitas diri, dapat terjadi gejolak emosi dalam diri mereka. Selain itu, karakteristik remaja yang mulai menekankan pentingnya hubungan dengan teman-teman sebaya, kerap mengalami tantangan dalam menghadapi tuntutan-tuntutan dari sekitarnya, sehingga dapat menimbulkan permasalahan sosial (Way dalam Rhodes dkk, 2004). Terjadinya berbagai perubahan pada masa remaja ini juga seringkali berdampak pada menurunnya rasa keberhargaan diri (self-esteem) pada diri remaja (Rhodes, 2004).
Self-esteem merupakan dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri (Santrock, 2003). Remaja menilai dirinya secara menyeluruh sehingga ia memperoleh gambaran yang jelas tentang dirinya sendiri, dan kemudian membandingkannya dengan kriteria ideal yang dimilikinya. Konsep harga diri sangat terkait dengan tiga konsep lain yang memang merupakan hal yang tidak terpisahkan, yaitu: self concept, self image, dan ideal self  (Lawrence, 2006). Self-esteem yang rendah pada seseorang disebabkan oleh adanya diskrepansi antara pandangan yang dimiliki seseorang mengenai dirinya saat ini (perceived self) dengan pandangan idealnya terhadap dirinya atau yang disebut dengan  ideal self  (Mruk, 2006).
Tingkat self-esteem seorang remaja dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Latar belakang remaja seperti gender, ras dan status sosial, dapat mempengaruhi self-esteem seorang remaja (DuBois dalam Rhodes dkk, 2004). Selain latar belakangnya, hubungan remaja dengan orang tua dan teman menjadi kontributor penting terhadap tingkat self-esteem mereka (Santrock, 2007).     Orang tua yang membesarkan anaknya dengan sikap penuh pengakuan dan tanggapan akan membentuk remaja dengan self-esteem yang tinggi, sementara orang tua yang bersikap tidak responsif dan kurang memberi pengakuan kepada anaknya akan membentuk anak dengan self-esteem yang rendah (Bos dkk, 2006). Setelah beranjak remaja, hubungan dengan orang tua tetap memberikan pengaruh terhadap self-esteem, namun hubungan dengan teman memberi pengaruh yang lebih utama. Perasaan terhadap penerimaan dari teman-teman memberikan pengaruh besar terhadap self-esteem seorang remaja (Bos dkk, 2006).
Remaja yang memiliki self-esteem rendah cenderung menampilkan karakteristik tertentu, seperti memiliki masalah interpersonal, mengalami kegagalan akademis, ketergantungan, perlawanan terselubung, depresi, kecemasan, perasaan keterasingan, tidak dicintai, penarikan diri dari situasi sosial, kurangnya kemampuan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, kecenderungan untuk menerima umpan balik negatif  sebagai sesuatu yang benar, dan berkurangnya kepuasan terhadap penyelesaian kerja (Robson dalam Coetzee, 2009). Selain itu, remaja dengan self-esteem rendah juga memiliki kecenderungan untuk menampilkan perilaku mencari perhatian (McClure, 2010).
Keadaan self-esteem dengan karakteristik seperti di atas,  juga banyak terjadi pada remaja di Indonesia. Bila kita cuplik beberapa kasus di masyarakat, terutama yang dialami oleh siswa sekolah menengah, maka tergambar kondisi psikososial dan emosional maupun kesehatan mental remaja. Beberapa fakta atau temuan kasus-kasus misalnya, seorang siswa SMA di Ngawi Jawa Timur nekat bunuh diri karena mengalami depresi berat (Republika.co.id, 2012). Kasus lain terjadi pada seorang siswi SMA di Sengkang yang nekat bunuh diri setelah dimarahi oleh ibunya (Tempo.co, 2012). Berdasarkan hasil penelitian, kasus bunuh diri dalam kurun waktu delapan bulan, Februari-Oktober 2012, di Buleleng, Singaraja Bali ternyata pelakunya didominasi oleh kalangan pelajar. Empat kasus diantaranya melibatkan dua pelajar SMP, seorang siswa SMA, dan satu orang siswa SMK. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan dalam kurun waktu 2006-2009 di Bali tercatat 227 kasus bunuh diri. Sebanyak 17 kasus atau 7,5% diantaranya, korbannya adalah pelajar SD, SMP, dan SMA/SMK.(Balipost.co.id, 2012).
Remaja dengan karakteristik self-esteem yang rendah dengan mudah melakukan tindakan yang merugikan diri dan orang lain, serta sangat bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Adanya tuntutan dan tekanan dalam berbagai aspek kehidupan membuat para remaja ini mengalami konflik, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sekitarnya. Bagi remaja yang dapat menerima berbagai peristiwa yang dihadapinya secara positif, ia akan berusaha bertindak positif tanpa merugikan dirinya maupun lingkungannya. Sebaliknya, ketika remaja menerima sebuah peristiwa sebagai suatu kegagalan atau hal yang sangat menyakitkan, hal tersebut akan membuat dirinya tidak bermakna, tidak berharga, merasa tidak mampu, dan lebih lanjut akan membuatnya bertindak buruk dalam bentuk yang beragam, yang salah satunya berupa bunuh diri.
Dalam setting pendidikan, ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa self-esteem memiliki hubungan erat dengan performansi akademik. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2007) menemukan bahwa self-esteem memiliki hubungan yang erat dengan prestasi akademik siswa SMA. Lui, Kaplan & Risser (dalam Rice, 1996) mengatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara pencapaian akademik dengan self-esteem. Individu yang memiliki self-esteem tinggi cenderung memiliki pencapaian akademik yang lebih tinggi, dan mereka yang memiliki self-esteem rendah memiliki pencapaian akademik yang lebih rendah.Selain berkaitan dengan pencapaian akademik, self-esteem juga berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental seorang remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Boden dkk, (dalam Simpson-Scott, 2009), bahwa remaja dengan self-esteem yang rendah memiliki kesempatan lebih besar untuk mengalami masalah kesehatan mental serta penyalahgunaan obat-obatan dibandingkan remaja dengan self-esteem yang lebih tinggi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, tampak bahwa terdapat hubungan yang erat antara self-esteem rendah dengan perilaku remaja bermasalah. Apabila permasalahan ini tidak segera ditangani, maka bukan tidak mungkin permasalahan ini akan semakin melebar dan meluas pada kondisi dan perilaku yang lebih mengkhawatirkan seperti yang telah disebutkan di atas.
Beberapa fakta dan temuan kasus yang menggambarkan kondisi psikososial dan emosional maupun kesehatan mental remaja dengan karakteristik self-esteem rendah seperti yang sudah dijabarkan di atas, menunjukkan perlunya upaya pemberian layanan bantuan kepada siswa SMA untuk meningkatkan self esteem. Bimbingan dan Konseling sebagai salah satu pilar pendidikan merupakan usaha bantuan yang memungkinkan siswa mengenal dan menerima diri sendiri, mengenal dan menerima lingkungan secara positif dan dinamis, mampu mengambil keputusan, serta mampu mengarahkan dan mewujudkan diri sendiri secara efektif dan produktif sesuai dengan peranan yang diinginkannya di masa depan. Karena itu, bimbingan dan konseling di sekolah, sebagai salah satu agen yang bertanggung jawab atas tumbuh kembang optimal siswa, perlu melakukan tindakan-tindakan tertentu secara preventif maupun kuratif untuk menangani permasalahan self esteem rendah ini.
Hasil studi awal untuk mengetahui adanya siswa yang memiliki karakteristik self-esteem yang rendah di SMA Lab Undiksha Singaraja, dilakukan melalui wawancara dengan para konselor dan pelancaran angket self-esteem oleh peneliti dan konselor sekolah. Dari hasil studi awal di SMA Lab Undiksha Singaraja, menunjukkan bahwa dari 201 orang siswa, terdapat 64,2% siswa yang memiliki karakteristik self-esteem yang rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, umumnya siswa merasa memiliki self-esteem rendah terkait dengan prestasi akademik dan mereka merasa tidak percaya pada kemampuan yang dimiliki. Selain itu, juga disebabkan oleh adanya masalah dalam pergaulan dan hubungan dengan orang lain. Dari hal tersebut, siswa yang mengalami masalah self-esteem rendah, mewujudkannya dalam perilaku misalnya menarik diri dari orang lain, menyendiri, tidak mengerjakan PR, bermusuhan dengan teman, pemalu, dsb.
Temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa permasalahan self esteem di sekolah ini masih belum ditangani secara optimal. Umumnya, guru BK di sekolah masih menggunakan pendekatan/metode yang kurang tepat dalam menangani self esteem, sehingga tidak berpengaruh banyak terhadap peningkatan self esteem siswa. Konselor sekolah hanya memberikan layanan bimbingan kelompok secara terjadwal untuk membantu siswa memecahkan permasalahannya secara umum, sehingga metode yang digunakan kurang tepat sasaran bagi siswa. Oleh karena itu, konselor diharapkan memiliki keterampilan dalam mengaplikasikan metode tertentu secara efektif dan efisien dengan memperhatikan perkembangan dan karakteristik siswa.
Pendekatan cognitive-behavior merupakan suatu bentuk pendekatan  psikoterapi yang terstruktur. Pendekatan ini dinamakan “terapi kognitif” karena teknik-teknik yang dipakai pada pendekatan ini bertujuan merubah kesalahan (error) atau penyimpangan (bias) dalam pikiran konseli (Davidson, 1990). Menurut Cormier, (2003), pendekatan cognitive-behavior memiliki beberapa metode antara lain cognitive restructuring, self-instruction, problem solving dll. Dari ketiga metode cognitive-behavior tersebut, metode self-instruction memiliki keunggulan, yaitu selain dapat mengganti pandangan negatif individu menjadi positif, metode ini juga dapat mengarahkan individu untuk mengubah kondisi dirinya agar memperoleh konsekuensi yang efektif dari lingkungan. Individu tidak hanya  diajak untuk mengubah pandangannya, tetapi juga diarahkan untuk mengubah perilaku yang lebih efektif. Berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan self-esteem, metode self-instruction ini memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari beberapa pernyataan para tokoh serta penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
Teknik self-instruction pada awalnya dikembangkan oleh Meinchenbaum, (dalam Corey, 1996). Menurut Meinchenbaum, terapi self-instruction merupakan bentuk dasar dari restrukturisasi kognitif yang memfokuskan pada perubahan verbalisasi diri. Dalam penelitian yang akan dilakukan, pedoman teknik self-instruction diadaptasi dari Cormier (2003) karena penjabaran tahap-tahap pengaplikasiannya lebih spesifik dan terstruktur. Dasar aplikasi teori ini adalah proses merestrukturisasi sistem kognisi, namun lebih terpusat pada perubahan pola verbalisasinya. Menurut Meinchenbaum, pernyataan diri (self-statement) akan mempengaruhi tingkah laku seseorang, sebagaimana pernyataan yang diberikan oleh orang lain. Syarat awal dari intervensi ini adalah, individu harus mengenali cara mereka berpikir, merasa dan bertindak, serta bagaimana akibatnya terhadap orang lain.
Inti dari teknik self-instruction adalah konselor bertindak sebagai model dan melaksanakan tugas sambil berbicara pada diri sendiri secara keras/lantang, kemudian siswa diinstruksikan untuk melakukan tugas yang sama sambil menginstruksikan diri sendiri dengan keras dan lantang. Setelah itu, siswa membisikkan instruksi-instruksi tersebut pada diri sendiri. Akhirnya siswa melaksanakan tugasnya sambil memerintahkan diri secara tersembunyi (covertly)/ dalam hati.(Cormier, 2003).
Menurut Vigotsky (1962), tahapan terpenting dalam teknik self-instruction adalah individu secara perlahan berubah dari berbicara secara keras, kemudian mulai berbicara secara lirih di dalam hatinya (talking a loud to internal self-talk). Vigotsky menegaskan bahwa proses internalisasi perintah verbal merupakan langkah yang penting bagi individu dalam menciptakan kendali secara sadar terhadap perilakunya. Selain itu, Meinchenbeum, (dalam Corey, 1996), menggambarkan proses tahapan teknik self-instruction: (1) Observasi Diri: di awal intervensi, siswa diminta untuk mendengarkan dialog internal dalam diri mereka dan mengenali karakteristik pernyataan negatif yang ada. Proses ini melibatkan kegiatan meningkatkan sensitivitas terhadap pikiran, perasaan, perbuatan, reaksi fisiologis dan pola reaksi terhadap orang lain, (2) Memulai Dialog Internal Baru: Setelah siswa belajar untuk mengenali tingkah laku maladaptifnya, mereka mulai mencari kesempatan untuk mengembangkan alternatif tingkah laku adaptif dengan cara merubah dialog internal dalam diri mereka. Dialog internal yang baru diharapkan dapat menghasilkan tingkah laku baru, yang sebaliknya akan memberikan dampak terhadap struktur kognisi siswa, (3) Belajar keterampilan Baru: Siswa kemudian belajar teknik mengatasi masalah yang secara praktis dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang sama, siswa diharapkan untuk tetap memusatkan perhatian kepada tugas membuat pernyataan baru dan mengamati perbedaan hasilnya.
Penerapan self-instruction pada individu, dilakukan tidak dengan membohongi diri sendiri, tetapi secara jujur mengatakan apa yang sebenarnya dirasakan oleh individu. Individu perlu mendapatkan instruksi diri ini secara tertulis, sehingga individu bisa membaca dan mendengarkan perkataan  konselornya. Orang tua juga harus mengetahui bahwa anaknya tidak mengalami halusinasi, karena berbicara dengan dirinya sendiri, tetapi bahwa anaknya sedang menerapkan self-instruction untuk mengatasi suatu masalah yang sedang dihadapinya.
Hasil-hasil penelitian membuktikan bahwa metode self instruction efektif meningkatkan self esteem siswa. McGuire dan McGuire (dalam Lange dkk, 1998), menyatakan bahwa semakin seseorang memperhatikan karakteristik positif pada dirinya dan bukan pada karakteristik negatif, maka semakin tinggi tingkat self-esteem yang dimilikinya. Hal ini didukung pula oleh penjelasan Teaster (2004) bahwa pernyataan positif (positive self-statement) dapat meningkatkan self-esteem. Richard dkk, (1998) juga mengujicobakan teknik self-instruction pada 24 sampel yang memiliki self-esteem yang rendah. Kemudian mereka diinstruksikan untuk menulis hal-hal positif mengenai diri mereka sendiri dan kemudian diinstruksikan untuk membacanya dua kali setiap hari dalam periode selama tiga minggu. Hasilnya, self-esteem pada 24 sampel yang mendapat instruksi untuk membaca hal-hal positif mengenai dirinya meningkat secara signifikan, sedangkan sampel yang tidak mendapat instruksi self-esteemnya cenderung menurun. Penelitian serupa dilakukan Lange dkk, (1998) mengungkapkan bahwa teknik self-instruction berpengaruh signifikan pada self-regard, self-esteem dan self-confidence individu. Selain itu, Plunkett dkk, (2004) melakukan penelitian pada orang tua yang memiliki anak, kemudian diberikan terapi self-instruction yang hasilnya dari 72 orang, 80%nya ingin melakukan perubahan dalam cara mendidik anaknya dan kebanyakan orang tua juga ingin merubah diri mereka sendiri. Penelitian lain juga dilakukan oleh Larasati (2012) yang melakukan intervensi individual terhadap subjek yang memiliki self-esteem rendah dengan menggunakan metode self-instruction. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi metode self instruction dapat meningkatkan self-esteem pada subjek.
Selain efektif untuk meningkatkan self-esteem, metode self-instruction juga telah teruji efektif digunakan pada berbagai macam populasi, misalnya pada anak yang hiperaktif, mengontrol kemarahan, membantu siswa yang mengalami learning disability, meningkatkan self-efficacy, dll. Rath (1998), Sekiguchi (1999), and Taylor & O’Reilly (1997) (dalam Cormier, 2003) melakukan penelitian di India, Jepang dan Irlandia untuk mengujicobakan keefektifan dari pelatihan self-instruction pada anak cacat agar bisa meningkatkan self-efficacynya, kemudian diperoleh hasil, ternyata self-efficacy mereka meningkat dengan bertambahnya teman-teman baru dalam pergaulan sosial mereka. Teknik self-instruction juga digunakan Larmar (2006) dalam penelitiannya pada kelompok terapi selama lebih dari 9 minggu untuk melakukan perubahan perilaku yang mengganggu daya konsentrasi siswa yang berusia 12 tahun di SD Brisbane Metropolitan, Queensland, Australia. Hasilnya diperoleh dengan teknik self-instruction, perilaku yang mengganggu menurun secara signifikan sejalan dengan meningkatnya daya konsentrasi siswa.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode self-instruction ini dihipotesakan efektif untuk meningkatkan self-esteem  pada remaja, karena metode ini bertujuan untuk membentuk ulang pola-pola kognitif, asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan dan penilaian penilaian yang irasional, merusak dan menyalahkan diri sendiri. Dengan intervensi metode self-instruction ini, dapat membantu siswa mengubah distorsi-distorsi kognitif tersebut dengan menguji ulang keyakinan siswa dengan berbagai teknik persuasi verbal dan aktivitas yang diberikan secara berulang-ulang sampai siswa mampu melakukannya untuk diri mereka sendiri.(Cormier, 2003).
Berdasarkan uraian tersebut, metode self-instruction dapat menjadi salah satu solusi alternatif bagi konselor untuk membantu siswanya memecahkan masalah yang dihadapi terutama berkaitan dengan masalah self-esteem. Alasan pemilihan metode self instruction ini adalah karena dengan menerapkan metode self-instruction ini, siswa dapat menginstruksikan dirinya sendiri untuk mengganti keyakinannya yang negatif menjadi keyakinan positif. Selain itu, metode self instruction  juga dapat mengarahkan perilaku siswa menjadi lebih efektif. Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan metode self instruction dalam meningkatkan self esteem siswa SMA.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan pre-eksperimen dalam bentuk one-group pretest-posttest design. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Lab. Undiksha Singaraja. Dari populasi tersebut, dipilih beberapa siswa untuk menjadi subjek penelitian. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan pemenuhan kriteria-kriteria tertentu menggunakan teknik purposive sampling yaitu: (1) tercatat sebagai siswa kelas X SMA. Lab. Undiksha Singaraja, (2) teridentifikasi sebagai siswa yang memiliki self-esteem rendah berdasarkan pengukuran dengan skala self-esteem, dan selanjutnya subjek tersebut menjadi kelompok eksperimen.
Langkah-langkah metode self instruction yang diterapkan pada kelompok eksperimen adalah (1) Konselor menjelaskan prosedur intervensi dan manfaatnya, (2) Konselor bertindak sebagai model, memberikan contoh verbalisasi self-statement yang positif dengan suara lantang/keras kepada siswa, (3) Siswa kemudian mengikuti apa yang sudah dicontohkan konselor, memverbalisasikan self-statement yang positif secara lantang/keras (overt), (4) Siswa diintruksikan untuk mengulang kembali memverbalisasikan self-statement yang positif secara lantang/keras (overt), (5) Siswa diinstruksikan untuk memverbalisasikan self-statement yang positif dengan cara berbisik, (6) Terakhir, siswa menginstruksikan pada dirinya sendiri yaitu dengan memverbalisasikan self-statement yang positif  hanya dalam hatinya saja (covert), (7) Homework and Follow Up.
Penelitian ini melibatkan satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah metode self instruction. Sementara variabel terikat yang ingin ditingkatkan dalam penelitian ini adalah self esteem. Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen yaitu: (1) bahan perlakuan (stimulus material); dan (2) instrumen pengumpulan data berupa Skala Self-Esteem yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan teori dari Coopersmith (1967) dan telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Skala self esteem telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Validitas butir antara 0,32 sampai 0,64 dan reliabilitas kuesioner sebesar 0,915, yang berarti bahwa skala self esteem layak digunakan dalam penelitian. Untuk buku panduan pelatihan, telah divalidasi oleh ahli dengan indeks uji ahli sebesar 1, yang berarti memiliki validitas yang sangat tinggi dan layak digunakan sebagai bahan perlakuan. Skor rata-rata self esteem siswa digolongkan berdasarkan Tabel 1. Untuk mengetahui terjadinya peningkatan self esteem siswa, skor rata-rata self esteem sebelum diberikan pelatihan dan sesudah diberikan pelatihan dibandingkan. Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisis non parametrik uji Wilcoxon dengan program SPSS 20 for windows.

Tabel 1. Kriteria Penggolongan Self Esteem
Interval
Kriteria
104< Skor ≤ 128
80<  Skor  ≤ 103
56<   Skor  ≤ 79
32 ≤  Skor ≤ 55

Sangat Tinggi (ST)
Tinggi (T)
Rendah(S)
Sangat Rendah (R)



HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Setelah pelatihan metode self instruction diberikan pada kelompok eksperimen, posttest dilakukan untuk mengetahui keefektifan metode self instruction dalam meningkatkan self esteem siswa. Hasil posttest menunjukkan bahwa skor rata-rata self esteem siswa sebelum diberikan pelatihan metode self instruction sebesar 60,0 mengalami peningkatan setelah mendapatkan pelatihan metode self instruction menjadi 99,0. Rekapitulasi hasil analisis deskriptif antara pretest dan posttest disajikan pada Tabel 1.

  
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis Deskriptif antara Pretest dan Posttest
Statistik Deskriptif

N
Minimum
Maksimum
Rata-rata
Standar Deviasi
Sebelum
5
60.00
70.00
64.0000
4.69042
Setelah
5
96.00
105.00
99.0000
3.74166

Secara umum, self esteem siswa pada kelompok eksperimen mengalami peningkatan yang signifikan setelah mengikuti 4 tahap intervensi dalam 6 kali pertemuan pelatihan metode self instruction. Hasil analisis posttest menunjukkan bahwa ada perbedaan perolehan skor siswa sebelum mengikuti pelatihan dan sesudah mengikuti pelatihan. Pada subjek I (FT), sebelum mengikuti pelatihan skor pretest 62 (kriteria rendah), dan setelah mengikuti pelatihan skor posttest terakhir 98 (kriteria tinggi). Pada subjek II (WR), sebelum mengikuti pelatihan skor pretest 60 (kriteria rendah), dan setelah mengikuti pelatihan skor posttest terakhir 96 (kriteria tinggi). Pada subjek III (WN), sebelum mengikuti pelatihan skor pretest 68 (kriteria rendah), dan setelah mengikuti pelatihan skor posttest terakhir 100 (kriteria tinggi). Pada subjek IV(DN), sebelum mengikuti pelatihan skor pretest 70 (kriteria rendah), dan setelah mengikuti pelatihan skor posttest terakhir 105 (kriteria sangat tinggi). Pada subjek V (AD), sebelum mengikuti pelatihan skor pretest 60 (kriteria rendah), dan setelah mengikuti pelatihan skor posttest terakhir 96 (kriteria tinggi). 
Hasil analisis uji Wilcoxon dengan menggunakan SPSS versi 20.00, menunjukkan terdapat 5 observasi pada variabel sesudah yang lebih dari observasi pada variabel sebelum dengan rata-rata rangking (mean rank) = 3.00 dan tidak terdapat subjek yang nilai posttestnya kurang dari nilai pretest. Apabila dilihat dari nilai Z , dimana nilai z hitung  = 2,060  lebih besar dari z tabel = 1, 96 dengan Asymp. Sig. (2-tailed) 0.039 < α 0.05 berarti terjadi peningkatan  self-esteem siswa setelah pelatihan metode self-instruction. Hasil analisis uji Wilcoxon dijabarkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Uji Wilcoxon

Ranks

N
Mean Rank
Sum of Ranks
Sesudah - Sebelum
Negative Ranks
0a
.00
.00
Positive Ranks
5b
3.00
15.00
Ties
0c


Total
5


a. Sesudah < Sebelum
b. Sesudah > Sebelum
c. Sesudah = Sebelum

Test Statisticsa

Sesudah – Sebelum
Z
-2.060b
Asymp. Sig. (2-tailed)
.039
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.

Pembahasan
Temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa tingkat self-esteem siswa SMA sebelum diberikan pelatihan metode self-instruction berada pada kategori rendah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya tingkat self-esteem siswa, baik faktor internal maupun eksternal. Berdasarkan penemuan penelitian, faktor internal yang menyebabkan siswa memiliki kecenderungan untuk memiliki self-esteem rendah adalah karena merasa tidak puas dengan kondisi fisik yang dimilikinya. Penemuan penelitian ini mendukung pernyataan (Rhodes, 2004) bahwa terjadinya berbagai perubahan pada masa remaja baik perubahan secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi seringkali berdampak pada menurunnya self-esteem pada diri remaja. Selain itu, ada juga faktor eksternal yang mempengaruhi rendahnya tingkat self-esteem siswa yang peneliti temukan yaitu memiliki hubungan yang kurang baik dengan orang tua dan teman. Penemuan ini mendukung pernyataan (Santrock, 2007) bahwa hubungan remaja dengan orang tua dan teman menjadi kontributor penting terhadap tingkat self-esteem mereka. Dalam penelitian ini, juga ditemukan siswa yang memiliki permasalahan self-esteem selalu menampilkan perilaku mencari perhatian, yang kadang-kadang sangat mengganggu.  Hal ini mendukung pernyataan (McClure, 2010) bahwa remaja dengan self-esteem rendah juga memiliki kecenderungan untuk menampilkan perilaku mencari perhatian.
Terdapat empat aspek yang biasa menjadi tolok ukur individu dalam menilai dan menghargai dirinya yaitu aspek keberartian (significance), aspek kekuatan (power), aspek kemampuan (competence), dan aspek kabajikan (virtue)  (Coopersmith,1967:40). Aspek keberartian (significance) didefinisikan sebagai adanya kepedulian, perhatian dan afeksi yang diterima oleh individu dari lingkungannya. Aspek kekuatan (power) didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk bisa mengatur perilakunya sendiri dan mempengaruhi perilaku orang lain. Aspek kemampuan (competence) ditandai dengan perfomansi individu dalam mengerjakan bermacam-macam tugas dengan baik sesuai dengan tingkat usia dan tugas perkembangannya. Terakhir,vaspek kebajikan (virtue) ditandai dengan ketaatan individu terhadap standar moral, etika dan prinsip-prinsip religius. Namun demikian, biasanya hanya terdapat satu atau dua aspek saja yang paling menjadi perhatian dan paling berkontribusi dalam menurunkan self-esteem mereka (Coopersmith,1967:42).
 Dalam meningkatkan self-esteem siswa, prosedur pelaksanaan pelatihan metode self-instruction dikembangkan oleh peneliti sendiri dengan mengadaptasi tahap-tahap metode self-instruction dari Cormier (2003). Dalam proses pelatihan ini, konselor bertindak sebagai model. Ketika bertindak sebagai model, konselor berpedoman pada lima langkah yang merupakan bagian dari proses self-guidance yaitu (1) Bertanya, dalam tahap ini konselor memberikan contoh kepada siswa untuk bertanya kepada dirinya terkait dengan self-esteem yang rendah, (2) Menjawab pertanyaan dengan sebuah rencana, dalam tahap ini konselor mencontohkan dan mendorong siswa untuk merencanakan hal-hal yang bisa digunakan untuk mengatasi masalahnya dan menggali munculnya harapan-harapan positif pada siswa, (3) Membimbing diri dan memfokuskan perhatian, dalam tahap ini konselor mencontohkan kepada siswa untuk memusatkan perhatian dan konsentrasi pada rencana dan harapan positif yang telah dirancang, (4) Mengevaluasi diri dan mengoreksi kesalahan, dalam tahap ini konselor mencontohkan kepada siswa dan mendorong siswa agar mampu mengidentifikasi dan menganalisis pikiran-pikiran yang menyebabkan dialog internal negatif terkait dengan self-esteemnya, sehingga siswa mampu mengolah pikiran (kognitif) dan perasaan (afektif) untuk menggagas dialog internal baru yang positif, (5) Self-reinforcement, dalam tahap ini konselor mencontohkan kepada siswa untuk memberikan reward kepada diri sendiri dengan menggunakan pujian atau kata-kata motivasi.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat aspek self esteem pada masing-masing subjek kelompok eksperimen sesudah mengikuti pelatihan metode self instruction memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti pelatihan metode self instruction. Setelah mengikuti pelatihan metode self-instruction, Subjek I (FT) mengalami peningkatan pada aspek kemampuan (competence) dan keberartian (significance) yaitu menjadi lebih mudah berinteraksi dengan teman-teman yang lain dan lebih optimis dalam melakukan sesuatu serta berani menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Subjek II (WR) juga mengalami peningkatan pada aspek kemampuan (competence) dan keberartian (significance) yaitu mengalami perubahan perilaku menjadi lebih percaya diri dan menjadi diri sendiri, sehingga mudah berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Subjek III (WN) mengalami peningkatan pada aspek kemampuan (competence), keberartian (significance) dan aspek kekuatan (power) yaitu lebih berani berbicara dan mengemukakan pendapatnya walaupun belum optimal (hal ini terlihat dari keaktifan WN selama proses pelatihan.  Subjek IV (DN) mengalami peningkatan pada aspek kemampuan (competence) dan keberartian (significance) yaitu lebih menghargai dirinya sendiri dan orang lain dengan tidak selalu berkata kasar,  sehingga mudah berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Subjek V (AD) mengalami peningkatan pada aspek kemampuan (competence) yaitu menjadi lebih terbuka untuk mengungkapkan permasalahannya, tanpa harus menimbulkan masalah baru.
Peningkatan self-esteem dalam diri setiap peserta pelatihan diawali dengan adanya kesadaran bahwa mereka tidak ingin memiliki self-esteem rendah yang sangat menghambat dan merugikan diri mereka untuk dapat lebih menikmati hidup. Setelah adanya kesadaran itu, maka mereka mulai memotivasi diri untuk keluar dari perasaan self-esteem rendah dengan menggunakan verbalisasi diri. Hasilnya, self-esteem mereka mengalami peningkatan secara signifikan yang diukur dengan skala self-esteem melalui posttest.
Semua peserta pelatihan merasakan manfaat dari pelaksanaan pelatihan metode self instruction ini yaitu (1) melalui pelatihan metode self-instruction ini, siswa memiliki kesadaran bahwa dengan memiliki self-esteem rendah akan sangat merugikan dan menghambat kreatifitas, (2) melalui pelatihan metode self-instruction ini, siswa menjadi lebih bebas mengekspresikan dirinya dengan selalu memerintah dirinya dalam hati untuk melakukan hal-hal positif yang bagus untuk perkembangannya, (3) melalui pelatihan metode self-instruction ini,  siswa menjadi lebih berani berbicara dengan menghilangkan pandangan yang negatif tentang dirinya menjadi hal yang positif, (4) melalui pelatihan metode self-instruction ini, konselor dan siswa saling memberikan dukungan dan motivasi untuk keluar dari masalah self-esteem, (5) melalui pelatihan metode self-instruction ini, dapat memerintah diri melakukan hal-hal yang positif kapanpun dan di manapun sesuai dengan kebutuhan.
Efektifitas pelatihan metode self-instruction untuk meningkatkan self-esteem siswa dalam penelitian ini, memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya oleh Plunkett, dkk; (2004) yang melakukan penelitian pada orang tua yang memiliki anak, kemudian diberikan terapi self-instruction yang hasilnya dari 72 orang, 80%nya ingin melakukan perubahan dalam cara mendidik anaknya dan kebanyakan orang tua juga ingin merubah diri mereka sendiri. Penelitian terbaru dilakukan oleh Larasati (2012) yang melakukan intervensi individual terhadap subyek yang memiliki self-esteem rendah dengan menggunakan metode self-instruction. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi metode self instruction dapat meningkatkan self-esteem pada subjek.
Melalui dukungan referensi pengetahuan yang akurat dalam menyusun buku panduan pelatihan dan respons psikologis yang tepat saat pelatihan, diharapkan dapat memanipulasi dan mengarahkan pandangan serta keyakinan siswa sehingga siswa dapat lebih memperhatikan karakteristik positif pada dirinya dan bukan pada karakteristik negatif, yang akan berefek pada semakin tinggi tingkat self-esteem yang dimilikinya. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian tersebut di atas, sangat penting bagi pihak sekolah, khususnya konselor sekolah untuk berdedikasi membantu mengatasi permasalahan self-esteem siswa melalui berbagai kegiatan bimbingan dan konseling, yang salah satunya dengan memberikan pelatihan menggunakan metode self-instruction.

Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data, dapat ditarik kesimpulan bahwa  ada perbedaan yang signifikan self esteem siswa sebelum mengikuti pelatihan metode self-instruction dengan self esteem siswa setelah mengikuti pelatihan metode self instruction. Skor rata-rata self esteem siswa setelah mengikuti pelatihan metode self instruction lebih tinggi daripada skor rata-rata sebelum mengikuti pelatihan metode self instruction. Berkenaan dengan hasil penelitian, diharapkan metode self instruction dapat diterapkan dan dikembangkan khususnya oleh konselor/guru BK di sekolah dalam rangka meningkatkan self esteem siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Bali Post. 2012. Kasus Bunuh Diri Didominasi Pelajar, (Online), (http://www.balipost.co.id diakses 10 Februari 2013).

Bos, A.E.R., Muris, P., Sandra, M., Herman P.S. 2006. Changing Self-Esteem in Children and Adolescents : A Roadmap for Future Interventions. Adolescent Development. Annual reviews of Psychology, 52 : 83-110.

Coetzee, M. 2009. The Relationship Between Personality Preferences, Self esteem and Emotional Competence.

Coopersmith, S.1967. The Antecedents of Self Esteem. San Fransisco. W.H. Freeman and Company.

Cormier, S. & Nurius, S.P. 2003. Interviewing and Change Strategises for Helper. Brooks/Cole.USA.

Corey, G. 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, Fifth Edition. California State University, Fullerton Diplomate in Counseling Psychology, American Board of Professional Psychology : Brooks/Cole

Davidson, K.M. & Blackburn, I.M. 1990. Cognitive Therapy for Depression and Anxiety. Cambrige. USA.

Hurlock, B. E. 2004. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima . Yogyakarta : Erlangga.

Lange, A. dkk. 1998. The Effects of Positive Self-Instruction : A Controlled Trial. Cognitive Therapy and Research, Vol 22, 225-236

Larmar, S. 2006. The Use of Group Therapy as a Means of Fasilitating Cognitive-Behavioral Instruction for Adolescents with Distruptive Behavior. Australian Journal of Guidance and Counseling. Vol.16, 233-248.
Larasati, WP. 2012. Meningkatkan Self Esteem Melalui Metode Self Instruction. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Indonesia.

Lawrence, D.2006. Enhancing Self Esteem in The Classroom. California. Sage Publication.

Mc.Clure, A.C., Tanski, S.E., Kingsbury, J, Gerrard, M., Sargent, J.D. 2010. Characteristics Associated with  Low Self-Esteem Among US Adolescents. Academic Pediatrics; Proquest.

Mruk, C.J. 2006. Self-Esteem Research, Theory and Practice : Toward A Positive Psychology of Self esteem. New York : Springer Publising Company.

Plunkett, S.W. Et al. 2004. Effectiveness of Self-Instruction Positive parenting. Journal of Family & Consumer Sciences, Vol 96, 34-39.

Pupitasari, M. 2007. Hubungan antara Self-Esteem, Kecerdasan Emosional, dan Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas Akselerasi di SMA. Negeri 1 Blitar. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FIP UM.

Republika, 2012. Depresi Berat, Anak SMA Sayat Urat nadi dengan Silet. (online) (www.replubika.co.id diakses 10 Februari  2013).

Rhodes, J.,Roffman,J., Reddy, R., Fredriksen, K. 2004. Change in self-esteem during the middle school years : a latent growth curve study of individual and contextual influences. Journal of  School Psycology 42, 243-261.

Rice, F.P. 1996. The Adolescent : Development, Relationships and Culture. Eight Edition. Boston : Allyn and Bacon.

Richard, Et al. 1998. The Effects of Positive Self-Instructional : A Controlled Trial. Journal Cognitive Therapy and Research. Vol 22, 225-236.

Santrock,J.2003. Adolescance : Ninth Edition. New York :McGraw-Hill Companies Inc.

Santrock,J. 2007. Adolescence : An Introduction : Eleventh Edition. USA: Mc. Graw Hill
Steinberg, L. 2002. Adolescence. New York : Mc. Graw-Hill, Inc.

Teaster, F.J. 2004. Positive Self Talk Statements as a Self Esteem Building Technique Among Female Survivors of Abuse. Proquest Information and Learning Company.

Tempo, 2012. Dimarahi Ibu, Siswi SMA Nekat Gantung Diri (online)(www.tempo.co) diakses 10 Februari 2013).

Vygotsky, L. 1962. Thought and Language. New York : Wiley.